Antara etika dan Profit, profesi dosen seringkali dihadapkan pada dua pilihan antar etik dan profit (keuntungan). Bila sang dosen lebih cenderung merajuk pada sisi ekonomi jelas dapat ditebak secara pasti, bahwa keuntungan menjadi pilihan utama. Apakah demikian halnya dengan dosen yang diharapkan dari idealismenya menjadi lokomotif perubahan masyarakat tentu saja tidak. Pilihan menjadi dosen seharusnya didasarkan sebagai bentuk etik tanggung jawab moral terhadap masa depan generasi muda, betapapun profit tidak dapat dipungkiri juga sebagai motif yang mendasari perilaku ekonomi mereka.
Untuk sampai pada kenyataan logis bahwa etiklah yang menjadi center atau acuan untuk berkiprah di dalam dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi yang dipandang penting atau bahkan wajib penerapannya. Setidaknya karakter pendidikan tinggi tidak menyimpang dari tugas utama perguruan tinggi itu, “Tri Dharma Perguruan Tinggi”. Bila memperhatikan uraian diatas, faktor dosen menempati posisi sentral didalam menghantarkan mahasiswa untuk menjadi generasi berkualitas. Olehnya, bila dosen di dalam memerankan dirinya sebagai pendidikan yang lebih berorientasi kepada profit materialis maka akan menurunkan animo terhadap kualitas mahasiswa dan atau sarjana yang telah menyelesaikan proses belajarnya. Relasi Dosen dan Mahasiswa dalam era reformasi fungsi dosen sebagai stu-satunya sumber informasi tidak akan berlaku lagi apalagi dosen hanya memiliki kemampuan sebagai distributor informasinya Iptek telah melahirkan akumulasi pengetahuan secara amat cepat, pesat, dan juga missal. Olehnya tidaklah mungkin segala sesuatu selalu dihadapkan dari wawasan dosen, yang harus dihafalkan dan diberi harga mati, seakan sebagai dogma.
Beban berat perguruan tinggi dimasa depan ialah memenuhi tuntutan dunia informasi terhadap penguasaan pengetahuan yang terletak pada kemampuan insan akademis untuk mengembangkan kapasitas intelektualnya secara kontinyu untuk merespon serta menilai secara kreatif yang diwujudkan dalam karya intelektual.
Sangat disayangkan saat ini pendidikan di perguruan tinggi cenderung mempersempit peluang mahasiswa melakukan atau memasuki proses pengembaraan intelektual. Yang terjadi saat ini justru suatu pemaksaan untuk meletakkan pengakuan bahwa dosen adalah manusia kampus yang paling benar dan berkuasa atas segala macam corak teori-teori ilmu pengetahuan. Prosesi kuliah tak lebih dari sekedar menjebak dan menggiring mahasiswa agar masuk dalam perangkap pemahaman, bahwa teori yang digelutinya telah memegang lisensi harga mati.
Teori-teori tersebut seberapa pun usangnya, masih layak dan wajib dihafal dan diterapkan. Mahasiswa tidak memiliki otoritas menolak walau jelas-jelas teori yang diterimanyamengandung banyak kelemahan-kelemahan empiric. Hal ini menurut Umar Kayam metode belajar seperti ini sudah menjebak mahasiswa tidak lagi berpikir kritis dan rasional. Karena itu, masalah ilmu pengetahuan sudah menjadi dogma dan stagnan. Proses transpormasi ilmu pengetahuan dalam bentuk relasi dosen dan mahasiswa, menjadi intoransi dan mengesampingkan kebenaran-kebenaran teori yang berada diluar jangkauan darinya. Itulah sebabnya, harus dikembangkan terobosan pola pendidikan yang lebih bermakna untuk menanggalkan konvensi yang keliru dalam metode pengajaran di perguruan tinggi selama ini yang seakan-akan sebagai satu-satunya tempat bergantung.
Dominannya mahasiswa akan ada ketergantungan terhadap dosen serta organisasinya. Dosen yang memposisikan diri sebagai sumber kebenaran yang membuktikan akan lemahnya kedua obyek (mahasiswa dan dosen) tersebut di dalam menguasai literatur-literatur kelemahan tersebut. Selain rendahnya kemampuan untuk memahami sekian banyak literatur juga minat baca dikalangan dosen dan mahasiswa.
Hal ini berpengaruh secara langsung pada proses belajar mengajarsebagaimana telah diuraikan diatas, yaitu pendaulatan teks-teks usang dan terjadinya pemutlakan teori-teori kebenaran yang secara intelektual hanya diukur dari penulis teori yang memiliki nama besar. Dosen seakan hanya sebagai “Nabi” yang berperan menyampaikan kemutlakan-kemutlakan yang diperintahkan.
Guna menghasilkan produk pendidikan tinggi yang baik apabila dosen menunjukkan kepada mahasiswa bagaimana ia mencari jalan keluar dari setiap kesulitan. Bukan “Melolohi” istilah yang saya pinjam dari Umar Kayam dengan teori-teori untuk dihafalkan. Tofler mengingatkan, kesadaran berpikir manusia amat bergantung pada kemampuan menyerap, memanipulasi, menilai serta memperhatikan informasi yang diterima. Karena itu, persoalan belajar bukan menguasai seluruh informasi tersebut.
Namun pola pendidikan yang seharusnya diterapkan adalah menyiapkan mahasiswa untuk dapat mengembangkan daya imajinasi serta keterampilan intelektualnya. Dosen diharuskan mampu untuk dialog, berbicara, berpikir serta merenung tentang ilmu yang tentunya ilmu disini tidak terkotak-kotak secara sempit.
Dosen sudah bukan saatnya berperan sebagai pengajar, sudah tidak dipercaya lagi kapasitas keilmuannya. Tugas utama dosen adalah mengajak mahasiswa membangun intelektualnya. Hal ini akhirnya memang harus tahu diri dengan kebutuhan mahasiswa yang telah mandiri atau secara jantan mundur dari hadapan mahasiswa karena ketidakmampuan.
Nurhayati Tine
Post a Comment
Post a Comment