BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan pada umumnya merupakan pemenuhan kesejahteraan individu yang meliputi pendapatan per kapita, kebutuhan pendidikan, kesehatan, kualitas hidup termasuk kebutuhan akan adanya harga diri. Dalam prakteknya perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan sangat dipengaruhi oleh cara pandang, hashab atau paradigma pembangunan yang dianut oleh para elit pada masing-masing negara. Paradigma yang berkembang dimulai dengan Teori Pembangunan Klasik yang terpecah menjadi berbagai aliran dan menurunkan faham-faham kapitalisme dan sosialisme. Selanjutnya berkembang pula teori-teori turunan seperti Teori Tahapan Linear, Teori Perubahan Struktural, Teori Revolusi Ketergantungan Internasional, Tesis Pembangunan Dualistik, Teori Kontra Revolusi Neoklasik, dan yang terakhir Paradigma Pembangunan Berkelanjutan.
Negara-negara Sedang Berkembang (Developing Countries) banyak bereksperimentasi dengan campuran dari teori-teori di atas mulai dari yang sentralistik sampai kepada yang liberal tergantung faham idiologi yang di anut. Hal yang perlu dicatat,
tidak satu pun Negara Sedang Berkembang bisa menyelesaikan masalah pembangunannya dengan hanya mengadapsi satu teori secara bulat dan utuh. Karena teori-teori pembangunan yang ada berkembang secara local spesific sehingga tidak sepenuhnya dapat diterapkan pada situasi yang berbeda.
Sejak kemerdekaan tahun 1945
pembangunan di Indonesia sendiri dapat dikatakan telah berganti-ganti faham. Namun ada satu ciri yang khas, yaitu menerapkan teori-teori yang liberal namun dalam situasi yang sangat sentralistik dan peranan pemerintah sangat dominan. Namun karena situasi local spesific tidak terlalu dikenali dan didalami, selalu dihadapkan kepada keadaan dead lock baik di masa Orde Lama maupun di masa Orde Baru bahkan sampai masa Orde Reformasi.
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka penulis merumuskan judul “Pembangunan dan Perubahan Politik”.
1.2. Identifikasi Masalah
Sebelum merumuskan permasalahan yang nantinya akan penulis uraikan dalam pembahasan ini, dalam hal ini penulis melakukan identifikasi permasalahan yang ada. Adapun identifikasi masalah tersebut adalah:
a. Pembangunan masih dihadapkan pada persoalan politik.
b. Pembangunan suatu kawasan masih didasarkan dengan keadaan politik.
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran diatas, maka penulis merumuskan masalah “Apakah dengan adanya perubahan politik dapat mempengaruhi pembangunan? ”
1.4. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang pembangunan dalam kaitannya dengan perubahan politik.
1.5. Manfaat Penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak terkait, dalam rangka memberikan gambaran tentang upaya meningkatkan pembangunan dalam kaitannya dengan perubahan politik, agar pencapaian tujuan pembangunan tercapai dan akan meningkat.
.
BAB II
2.1Pengertian Pembangunan
Secara terminologis, di Indonesia pembangunan identik dengan istilah development, modernization, westernization, empowering, industrialization, economic growth, Europeanization, bahkan istilah tersebut juga sering disamakan term political change. Identifikasi pembangunan dengan beberapa term tersebut lahir karena pembangunan memiliki makna yang multi-interpretable, sehingga kerap kali istilah tersebut disamakan dengan beberapa term lain yang berlainan arti. Pembangunan secara umum diartikan sebagai pemenuhan kesejahteraan individu yang meliputi pendapatan per kapita, kebutuhan pendidikan, kesehatan, kualitas hidup termasuk kebutuhan akan adanya harga diri.
Dewasa ini istilah pembangunan telah menjadi kata tunggal yang bermakna majemuk. Kata pembangunan dapat dipahami sekaligus sebagai kata kerja, kata benda dan kata sifat. Dilihat sebagai proses kegiatan yang berlanjut, pembangunan dapat dipandang sebagai kata kerja. Sebagai suatu sistem, proses kegiatan pembangunan itu berlangsung dalam suatu totalitas, mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi. Setiap kegiatan dalam proses itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Apa yang direncanakan, itu yang akan dilaksanakan. Apa yang dilaksanakan, itu yang akan dievaluasi. Selanjutnya, temuan dari evaluasi menjadi masukan kembali dalam penyusunan rencana baru, begitu seterusnya. Meski proses kegiatan berlangsung secara berulang, namun tidak boleh bersifat rutin dan berjalan ditempat. Kondisi baru harus menjadi makin baik dan meningkat melalui
identifikasi dan upaya untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang dijumpai pada setiap tahap dalam proses kegiatan (Abidin, 2004).
Di lain pihak, tujuan pembangunan juga terlihat sebagai kata benda. Tujuan yang ingin dicapai itu dapat dilukiskan dengan angka-angka yang konkrit. Tingkat pendapatan yang lebih tinggi dan lebih adil, kesempatan kerja yang bertambah banyak, jumlah produksi yang lebih meningkat, sarana transportasi dan komunikasi yang lebih baik dan lebih banyak, jumlah gedung sekolah yang makin bertambah, sarana kesehatan yang lebih banyak dan lebih bermutu, fasilitas produksi dan pemasaran yang lebih mudah serta mendorong kegiatan ekonomi rakyat dan usaha besar, dan sebagainya. Dengan demikian, rumusan tentang tujuan pembangunan harus terukur secara jelas, tidak boleh kabur dan bersifat sloganitas. Tujuan yang kabur dan tidak terukur mempersulit kegiatan evaluasi, sehingga tidak pernah dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada untuk meningkatkan pembangunan. Dalam ukuran yang konkrit, pembangunan baru dianggap berhasil kalau misalnya, hasil produksi dan pelayanan yang tersedia menjadi lebih bermutu dan lebih banyak. Dengan kata lain, pengadaannya menjadi lebih efektif dan lebih efisien.
Karena tujuan juga dianggap sebagai kondisi yang lebih baik, istilah pembangunan juga dapat dipandang dalam hubungan sebagai kata sifat. Sebagai kondisi yang lebih baik, tujuan pembangunan menjadi yang diinginkan (desirable). Persoalannya, diinginkan oleh siapa? Selama pembangunan hanya bermanfaat bagi kelompok kecil yang kuat dan membawa melarat bagi sebagian besar golongan miskin, maka pembangunan menjadi tidak disukai oleh masyarakat. Masalahnya bukan terletak pada pembangunan itu sendiri, tetapi pada kepentingan siapa yang diwakili oleh pembangunan dimaksud..
Berhubung dengan berbagai makna tersebut, maka proses perumusan kebijakan atau penetapan strategi pembangunan tidak boleh menjadi sempit dengan hanya memperhatikan kepentingan dari satu kelompok saja dalam masyarakat atau dengan hanya menunggu timbulnya tuntutan dari masyarakat. Karena di negara-negara berkembang masyarakat miskin pada umumnya belum ada akses terhadap pembangunan, maka tuntutan yang muncul dipermukaan juga lebih mewakili aspirasi golongan kaya yang jumlahnya lebih sedikit.
Dalam ajaran Islam, pengertian tentang pembangunan disebutkan sebagai “keadaan yang lebih baik daripada sebelumnya” (Walal akhiratu khairullaka minal ula, QS: 93: 4). Pengertian tersebut menempatkan pembangunan dalam posisi yang dinamis. Maksudnya, kondisi tersebut tidak berada sebagai sesuatu yang tetap, tetapi berada dalam posisi yang selalu berubah secara terus menerus. Tidak pernah berhenti. Karena rangkaian perubahan itu merupakan hasil dari kegiatan pembangunan, maka itu pembangunan dipandang sebagai proses kegiatan yang tidak boleh berhenti, tetapi berlanjut sepanjang waktu. Setiap waktu adalah waktu awal yang sekaligus juga waktu akhir. Dengan demikian, dalam kehidupan terdapat proses perbaikan terus menerus tanpa henti. Sebab itu dalam konsep Islam manusia dikatakan merugi kalau tidak lebih baik dari kondisi kemarin, meskipun dalam kenyatan tidak menjadi lebih buruk, apalagi kalau itu menjadi lebih mundur.
Sejalan dengan konsep tersebut diatas, dalam ilmu Manajemen Pembangunan, pembangunan disebut sebagai “…dynamic change of a whole society from one state of national being to another, with the connotation
that the latter state is preferable”. (Katz: 2) Dalam konsep ini, ada empat aspek yang perlu dicatat. Pertama, pembangunan itu adalah perubahan yang bersifat dinamis (a dynamic change). Kedua, bahwa perubahan itu tidak hanya terjadi pada sekelompok orang atau sesuatu wilayah saja, tetapi berlangsung dalam seluruh masyarakat (a whole society). Ketiga, perubahan itu berlangsung secara bertahap, dari suatu keadaan yang baru. Keempat, keadaan yang baru itu lebih disukai daripada keadaan sebelumnya. Karena pembangunan meliputi seluruh masyarakat, pembangunan mencakup berbagai sisi kehidupan. Dalam beberapa hal, tiap sisi kehidupan berbeda dengan sisi kehidupan lain. Dalam posisi yang berbeda, setiap individu berperilaku berbeda. Perilaku sebagai seorang ayah tidak sama dengan perilaku sebagai suami, perilaku sebagai anak buah berbeda sebagai perilaku sebagai pimpinan. Demikian juga perilaku petani tidak akan sama dengan perilaku buruh, perilaku birokrat berbeda dengan perilaku pengusaha dan seterusnya.
Karena pembangunan meliputi banyak sisi kehidupan, pembangunan harus didekati dengan beragam bidang ilmu (holistic approach). Pendekatan yang multi disiplin ini perlu ditekankan untuk menghindarkan kesan yang sempit tentang pembangunan, yang menganggap pembangunan semata-mata berada dalam lingkup bidang ekonomi, dan, karena itu hanya menjadi urusan para ahli ekonomi saja. Sempitnya pengertian tentang pembangunan itu telah mengakibatkan pembangunan
mengalami banyak kelemahan selama beberapa dekade sesudah Perang Dunia II. Selama masa itu, pembangunan dipandang sebagai persoalan teknis semata yang segala permasalahannya dapat diselesaikan secara ekonomis dan dengan perhitungan kuantitatif. Akibatnya, pembangunan hanya mampu menyentuh permasalahan yang dapat dihitung, yang ada dipermukaan dan yang biasanya hanya berhubungan dengan kelompok ekonomi kuat saja. Permasalahan-permasalahan hidup yang tidak berada dipermukaan dan tidak dapat dihitung yang dihadapi golongan ekonomi kecil, diharapkan teratasi dengan sendirinya melalui rembesan dari hasil kegiatan dipermukaan itu (trickle-down- effects).
Kesadaran tentang keperluan adanya pendekatan yang multi disiplin ini telah mendorong orang untuk melihat pembangunan tidak hanya dalam satu sektor atau bidang saja tetapi juga meliputi berbagai sektor, bidang dan daerah (regional approach). Analisis kebijakan dalam pembangunan tidak lagi sekedar berada dalam wawasan ilmu ekonomi, tetapi juga meliputi ilmu politik, ilmu perwilayahan (regional science), ilmu administrasi dan kebijakan publik. Bahkan akhir-akhir ini pendekatan ilmu jiwa atau psychology telah mulai memasuki wilayah kajian pembangunan. Bersamaan dengan meluasnya bidang kajian pembangunan, penggunaan matematika yang selama ini dipandang sebagai pendekatan yang paling maju, yang mampu menyederhanakan persoalan, mulai dipertanyakan akurasinya terhadap masalah-masalah sosial yang tidak dapat dikalkulasikan secara matematis. Namun matematika tetap dipandang sebagai ilmu alat atau ilmu bantu yang sangat penting, tetapi bukan segala-galanya.
2.2 Kriteria dan Pendekatan Pembangunan
Kalau pembangunan dimaksudkan untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik dimasa depan, yang menjadi pertanyaan, apa sesungguhnya yang diartikan dengan kondisi yang lebih baik itu? Beberapa kriteria muncul selama beberapa dekade untuk menjelaskan makna yang sesungguhnya dari pembangunan. Sampai akhir tahun 1960-an para ahli masih mengartikan pembangunan sebagai kemajuan ekonomi dengan menggunakan kenaikan pendapatan per kapita sebagai satu-satunya ukuran. Sebagai satuan hitung, dipergunakan nilai mata uang dollar Amerika. Makin tinggi pendapatan perkapita, makin tinggi tingkat pembangunan suatu negara. Tetapi sejalan dengan berkembangnya pembangunan, ukuran itu kemudian dirasa tidak cukup. Ukuran itu saja dirasa banyak kekurangannya. Pertama, penggunaan nilai mata uang dollar Amerika tidak dapat sepenuhnya menggambarkan nilai riel dari pendapatan di negara-negara lain. Daya beli mata uang sesuatu negara pada suatu waktu tidak selalu sama dengan nilai nominal yang diukur dalam nilai mata uang dollar.
Meskipun nilai tukar mata uang rupiah pada satu waktu misalnya Rp 9.500 per US $ 1, tetapi daya beli rupiah sebesar Rp. 9.500 di Indonesia lebih besar dari nilai US $ 1 di Amerika Serikat. Karena itu perhitungan pendapatan perkapita dengan menggunakan mata uang dollar tidak selalu realistis. Kedua, perhitungan pendapatan per kapita hanya didasarkan pada nilai pasar. Artinya, kegiatan-kegiatan yang tidak bersifat komersial atau yang tidak dapat dihitung berdasarkan nilai pasar tidak diperhitungkan. Dalam hal ini, misalnya kegiatan seorang pembantu rumah tangga diperhitungkan, sementara kegiatan ibu rumah tangga dianggap tidak komersial, karena itu tidak termasuk dalam perhitungan pendapatan nasional atau pendapatan per kapita. Ketiga, pendapatan per kapita merupakan hasil bagi dari total pendapatan atau total produksi dalam satu tahun. Kenaikan total produksi (GDP atau GNP) yang lebih tinggi dari kenaikan penduduk pada tahun yang sama menghasilkan kenaikan pendapatan per kapita. Karena itu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, karena kenaikan total produksi dapat terjadi dengan hanya kenaikan sekelompok kecil anggota masyarakat yang kaya, sementara kelompok besar golongan miskin tidak mengalami sesuatu perubahan pendapatannya, pendapatan per kapita penduduk secara menyeluruh dianggap telah meningkat. Sebab itu pembangunan suatu negara yang dihitung berdasarkan kenaikan pendapatan per kapita tidak mencerminkan kenyataan yang ada (www.bappenas.go.id)
Karena itu pada awal tahun 1970-an orang mulai mempersoalkan akurasi dari perhitungan pembangunan berdasarkan pendapatan per kapita. Sejak itu orang mulai menyadari keperluan adanya pemerataan dan menganggap pembangunan yang sesungguhnya terjadi bilamana pembangunan itu dapat menimbulkan pemerataan pendapatan disamping adanya pertumbuhan yang tercermin pada kenaikan pendapatan per kapita. Berbagai langkah kebijakan untuk pemerataan dilakukan, antara lain melalui penerapan sistem pajak progresif, jaminan sosial, dan sistem penggajian (flat-remuniration) yang rata. Artinya pendapatan atau gaji golongan tertinggi tidak terlalu berbeda dari tingkat pendapatan atau gaji golongan terendah. Tetapi pandangan inipun kemudian dipandang kurang sempurna. Masalahnya terletak pada keadilan itu juga. Kalau sebagian orang bekerja dengan sungguh-sungguh dan memikul tanggungjawab yang besar harus membagi pendapatannya dengan mereka yang malas, tidak bekerja dan tidak mempunyai sesuatu tanggungjawab, juga tidak adil.
Kelemahan lain dari pendekatan ini seperti yang diungkapkan oleh Mahbub ul Haq terletak pada pemisahan antara strategi produksi dengan strategi distribusi. Maka itu upaya untuk mewujudkan pertumbuhan yang menjamin pemerataan harus dilakukan melalui penyusunan strategi produksi yang senyawa dengan strategi distribusi (Mahbub ul Haq, 1976: 32 – 34). Karena itu sejak akhir tahun
1970-an atau awal tahun 80-an pendekatan pemerataan inipun dipandang ada kelemahannya. Sejak itu, sejalan dengan kritik Mahbub ul Haq, konsep pemerataan dilengkapi dengan istilah ‘pemerataan kegiatan dan hasil-hasilnya’, seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan dan seterusnya. Meskipun pemerintah Republik Indonesia tidak pernah dapat merealisasikannya dalam praktek, tetapi konsep itu tetap mempunyai makna yang cukup menarik. Konsep tersebut tidak hanya maju secara konseptual, tetapi juga tepat secara konstektual. Konsep tersebut sesuai dengan kondisi ekonomi, sumber daya, penyebaran penduduk dan masyarakat Indonesia sendiri. Konsep tersebut menghendaki adanya kegiatan pembangunan yang berlangsung merata diseluruh wilayah tanah air yang disertai dengan pemerataan hasil-hasilnya. Kondisi yang ingin diwujudkan ini justeru berbeda dengan kenyataan yang selama ini berlangsung, dimana kegiatan eksploitasi sumberdaya berlangsung di beberapa daerah, sementara hasil-hasilnya terpusat dan dinikmati di Jakarta.
Kepincangan yang ada selama ini merupakan akibat dari sistem pemerintahan yang sentralistis selama era Orde Baru. Segala keputusan dalam bidang pemerintahan dan pembangunan di pusatkan di ibu kota negara.
Karena itu kantor pusat segala bidang usaha berada di Jakarta, mereka membayar pajak di Jakarta. Akibatnya, meskipun kegiatan fisik ada di daerah-daerah, tetapi kegiatan bisnis dan administrasi berlangsung di ibu kota negara. Dengan sistem yang demikian, daerah-daerah hanya menerima limbah dari pembangunan, untuk kemudian menunggu kemurahan hati pemerintah pusat untuk sudi menganugerahkan sedikit dana yang pada umumnya jauh lebih kecil dari total penerimaan negara yang diperoleh dari daerah itu.
2.3 Perubahan Politik
Perubahan politik atau Political change artinya, perubahan kondisi politik sebuah negara akan membawa dampak pada arah pembangunan yang dilakukan negara tersebut, sehingga sekecil apapun pengaruhnya, perubahan politik akan mewarnai orientasi, langkah dan model pembangunan yang sedang berjalan di sebuah negara tertentu.
Pertanyaan lain dalam hubungan dengan pembangunan adalah tentang strategi apa yang paling tepat untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya? Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya berarti pembangunan berlangsung diseluruh wilayah negara yang dilaksanakan dengan partisipasi aktif secara meluas dari masyarakat. Yang dimaksudkan dengan partisipasi aktif disini adalah keikutsertaan banyak pihak atas dasar sukarela dalam proses kegiatan pembangunan. Pilihan untuk ikut serta itu dilakukan dengan pertimbangan yang rasional dan tanpa paksaan.. Ini hanya mungkin dapat dilakukan bilamana rakyat mempunyai kemampuan, baik secara politik maupun secara ekonomi dan teknologi. Mereka mampu ikut serta dan mampu mengambil manfaat dari keikutsertaan itu secara wajar. Beberapa persyaratan yang perlu diindahkan dalam hal ini, antara lain adalah:
1. Adanya kemerdekaan atau kebebasan untuk memilih lapangan kerja dan kegiatan yang sesuai dengan keahlian dan keinginannya. Ini berhubungan dengan kedaulatan yang dimiliki rakyat sebagai warga negara.
2. Ada kemampuan atau kapabilitas untuk memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan dan yang sesuai dengan kegiatan yang diinginkan.
3. Kesadaran sebagai anggota masyarakat. Terkait dengan ini adalah, seseorang tidak hanya tahu hak-haknya dalam masyarakat, tetapi juga tahu kewajibannya.
Diantara beberapa strategi pembangunan yang diperlukan untuk itu adalah, pertama, yang berkenaan dengan upaya pemberdayaan politik rakyat. Artinya, rakyat diberi wewenang untuk mewujudkan hak demokrasinya dalam memutuskan sendiri tentang apa yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingannya. Kedua, pengembangan kemampuan, keahlian dan ketrampilan, baik untuk mengolah sumberdaya setempat maupun untuk mampu berpartisipasi aktif seperti yang dimaksudkan diatas. Wujud dari strategi ini adalah pendidikan dan pelatihan yang meluas dalam masyarakat. Disamping itu juga pengadaan berbagai fasilitas penunjang yang diperlukan, mulai dari prasarana fisik, pemudahan urusan secara administratif, pengadaan jaringan komunikasi dan informasi yang dibutuhkan. Ketiga, program-program sosial kemasyarakatan yang berkaitan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut menjadi bagian dari kesadaran masyarakat yang antara lain tercermin pada nilai-nila kebenaran dan kesalahan, kebaikan dan kejahatan, kejujuran dan kecurangan. Dalam masyarakat Indonesia, nilai-nilai tersebut terdapat pada nilai-nilai agama yang tercermin dalam nilai-nilai Pancasila yang sekaligus menjadi dasar negara. Nilai-nilai tersebut menjadi landasan dalam penataan pemerintahan dan pembangunan, seperti fondasi bagi suatu bangunan bertingkat. Nilai-nilai yang hidup itu mendorong timbulnya etos kerja, kepercayaan diri, dan loyalitas (Tjiptoherijanto; 1993).
2.4 Pengaruh Perubahan Politik pada Pembangunan
Sejak bekerjanya kabinet di era reformasi ini, secara umum dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi yang menjadi kebijakan umum reformasi politik telah berjalan pada jalur dan arah yang benar. Pada tingkat masyarakat, antusiasme berpolitik melalui organisasi partai politik cukup tinggi, walaupun masih tetap terlihat adanya ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi, berupa masih kuatnya budaya kekerasan dan meluasnya praktek-praktek politik uang. Pada tingkat negara, ada konsensus yang cukup tinggi untuk terus membenahi dan memberdayakan lembaga-lembaga penting demokrasi pada semua tingkat, meskipun tetap menghadapi hambatan berupa masih longgarnya nilai-nilai kepatuhan pada peraturan perundangan dan lemahnya tradisi dalam berdemokrasi.
Pada sisi lain, begitu tingginya harapan dan antusiasme terhadap reformasi pada awal-awal proses demokratisasi, merupakan amanat dan pekerjaan rumah yang besar untuk merealisasikannya menjadi hasil-hasil yang konkret untuk rakyat. Di sinilah tantangan pemerintah dan partai-partai politik yang sesungguhnya, yakni menyiapkan wacana berkelanjutan bagi masyarakat mengenai hakekat demokrasi, berbagai dilema yang menyertai demokratisasi, serta peluang dan harapan dalam demokrasi yang tidak mungkin dicapai melalui jalan otoriterianisme.
Masalah-masalah politik dalam negeri yang menghadang diharapkan menjadi perhatian serius semua pihak. Di samping persoalan-persoalan aktual yang muncul sebagai akibat proses pembangunan politik, persoalan-persoalan klasik masih akan tetap menjadi beban di dalam proses demokratisasi selanjutnya. Permasalahan kelembagaan, baik yang menyangkut penerapan peran dan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif maupun yang berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah masih menuntut perhatian yang mendalam untuk mengatasinya. Persoalan separatisme dan ketidakpuasan politik di daerah juga adalah persoalan-persoalan nyata yang menuntut perhatian yang segera.
2.5 Langkah-Langkah Pelaksanaan Pembangunan dan Mengatasi Perubahan Politik
Secara umum pelaksanaan pembangunan dan mengatasi problem pembangunan dengan beberapa langkah, diantaranya pada sub bidang penyelenggaraan negara menjadi prioritas penanganannya pada pelaksanaan Program Pembangunan Nasional (Propenas) antara lain masih ditemukannya praktek-praktek penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Untuk itu upaya yang sungguh-sungguh untuk memberantas KKN sebenarnya telah mulai dilakukan sejak tahun 2000 dan telah memperlihatkan hasilnya. Telah banyak pelaku KKN, baik di pusat maupun di daerah, yang diproses dan ditindak secara hukum. Demikian pula dalam Penataan Organisasi dan Ketatalaksanaan Pemerintahan walaupun telah dilakukan upaya pendayagunaan (efektifitas) namun belum sepenuhnya sesuai dengan analisa jabatan dan kebutuhan organisasi serta beban tugas. Masalah kelembagaan pemerintah baik di pusat maupun di daerah masih terlihat belum efektif dalam menunjang pelaksanaan tugas dan belum efisien dalam penggunaan sumber dayanya.
Di bidang pelayanan publik, harapan masyarakat mengenai terwujudnya pelayanan, yang cepat, tepat, murah, manusiawi dan transparan serta tidak diskriminatif belum tercapai sebagaimana mestinya. Lebih jauh lagi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (E-Government) dalam pemberian pelayanan di lingkungan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah masih sangat jauh tertinggal.
Dalam pada itu pula, upaya-upaya untuk meningkatkan profesionalisme melalui sistem karier berdasarkan prestasi belum sepenuhnya dapat terwujud yang tentunya perlu diimbangi dengan peningkatan kesejahteraannya dan ini merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya, pembangunan adalah pembangunan sumberdaya manusia. Pembangunan prasarana dan sarana dilakukan hanya untuk menunjang kegiatan manusia dalam pembangunan. Karena pembangunan yang berlangsung selama beberapa dekade sesudah Perang Dunia-II tidak berpusat pada manusia, maka itu pembangunan tersebut belum mampu meningkatkan tingkat hidup dari kaum miskin di hampir semua tempat dipermukaan bumi ini. Tanpa pengembangan kemampuan, kaum miskin tidak mungkin dapat mengambil manfaat dari prasarana, sarana dan fasilitas yang disediakan.
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, dapat disarankan hal-hal sebagai berikut diharapkan kepada setiap pemegang amanah kekuasaan lebih mengedepankan pembangunan bangsa dan negara dibanding dengan pembangunan partai atau kelompoknya.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Said Zainal, 2004. Hakekat Pembangunan. dan Perubahan Masyarakat. Jakarta; Yayasan Pancur Siwah,
…………………..., 2004. Kebijakan Publik, Jakarta; Yayasan Pancur Siwah
Tjiptoherijanto, Prijono dan Said Zainal Abidin, 1993. Reformasi Administrasi dan Pembangunan Nasional, Jakarta, L.P. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8510/
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8516/ pokok – pokok penyelengga-raan pembangunan nasional
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur sama-sama kita panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi karena dengan Kuasa-Nya lah saya dapat menyusun serta menyelesaikan makalah yang berjudul “Pembangunan dan Perubahan Politik“ untuk memenuhi mata kuliah Teori Pembangunan Sosial.
Saya sangat menyadari bahwa kemampuan saya masih sangat terbatas dan masih banyak kekurangannya. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen Pembimbing atas bimbingannya dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya dan teman-teman sekalian yang membacanya.
Billahi Taufiq wal Hidayah
Boalemo, Agustus 2011
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................ i
DAFTAR ISI................................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG........................................................................................ 1
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH.......................................................................... 2
1.3 RUMUSAN MASALAH................................................................................... 2
1.4 TUJUAN PENULISAN..................................................................................... 3
1.5 MANFAAT PENULISAN............................................................................... 3
BAB II LANDASAN TEORI DAN PEMBAHASAN................................................... 4
2.1 PENGERTIAN PEMBANGUNAN............................................................. 4
2.2 KRITERIA DAN PENDEKATAN PEMBANGUNAN....................... 9
2.3 PERUBAHAN POLITIK................................................................................. 13
2.4 PENGARUH PERUBAHAN POLITIK PADA PEMBANGUNAN 15
2.5 LANGKAH-LANGKAH PELAKSANAAN PEMBANGUNAN
DAN MENGATASI PERUBAHAN POLITIK........................................ 16
BAB III PENUTUP ................................................................................................................... 18
3.1 SIMPULAN........................................................................................................... 18
3.2 SARAN.................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA
Post a Comment
Post a Comment