-->

Ad Unit (Iklan) BIG

CIRI-CIRI UTAMA ESENSIALISME

Post a Comment

            Esensialisme mempunyai tinjauan mengenai kebudayaan dan pendidikan yang berbeda dengan progresivisme. Kalau progresivisme menganggap pandangan bahwa banyak hal itu mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai itu berubah dan berkembang, Esensialisme menganggap bahwa dasr pijak semacam ini kurang tepat. Dalam pendidikan, Fleksibilitas dalam segala bentuk, dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu.

           Pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang  bersifat demikian ini dapat menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Berhubung dengan itu pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih yang mempunyai tata yang jelas dan yang teruji oleh waktu.

           Nilai-nilai yang dapat memenuhi dalah yang berasl dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad belakangan ini; dengan perhitungan zaman Renaisans, Sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan  esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad kesembilan belas.

           Idealisme dan realisme adalah aliran-aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing ini bersifat eklektik. Artinya dua aliran filsafat ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, tetapi tidak lebur menjadi satu. Berarti, tidak melepaskan sifat-sift utama masing-masing.

 

ANTESEDENS

           Di atas telah dikemukakan bahwa Reanisans adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep fikir yang disebut esensialisme. Oleh karena timbul sejak zaman itu, esensialisme adalah konsep yang meletakakn sebagain dari ciri alam fikir modern.

           Sebagaimana halnya sebab-musabab timbulnya  Renaisans, esensialisme pertama-tama munculdan merupakan reaksi terhadap simbiolisme mutlak dan dogmatisme Abad Pertengahan. Maka disusunlah konsepsi yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman modern.

           Realisme modern, yang menjadi salah satu eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik; sedangakan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spritual. John Deonald Butler mengutarakan secara singkat  ciri dari masing-masing ini sebagai berikut.

           Alam adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan ini harus dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik, dan di sanalah terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental. Jadi jiwa dapat diumpamakan sebagai cermin yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik. Ini berarti bahwa anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah saja. Berarti bukan hanya dari subjek atau objek semata-mata, melainkan pertemuan antara keduanya.

           Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Di balik dunia fenomena ini ada Jiwa yang Tidak terbatas iaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri.

           Sebagai reaksi terhadap tututan zaman yang ditandai oleh suasana hidup yang menjurus kepada keduniaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mulai terasa sejak permulaan abad yang ke 15 realisme dan idealisme perlu menyusun pandangan-pandangan yang modern. Untuk itu perlu di susun kepercayaan yang dapat menjadi penuntun bagi manusia agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan itu. Kepercayaan yang di maksud di usahakan tahan lama, kaya akan isinya dan mempunyai dasar-dasar yang kuat.

           Dasar-dasar yang telah diketemukan, yang akhirnya dapat dirangkum menjadi konsep filsafat pendidikan esensialisme ini, tampak manifestasinya dalam sejarah dari zaman Renaisans sampai timbulnya progresivisme.

           Idelaisme modern dengan tokoh-tokoh utamanya diJerman pada abad ke 17 dan ke 18, mengutarakan dan membahas pokok-pokok persoalan yang dekat pada manusia, di antaranya terolahnya kesan-kesan indera oleh akal dan proses penjelmaanya menjadi pengetahuan. Demikian pula oleh realisma, masalah-masalah tersebut juga menjadi objek peninjauan seperti terbukti dari gagasan-gagasan dari tokoh-tokohnya di Inggris sebelum idealisme timbul.

           Tinjauan yang bersifat seperti di atas itu memberikan jalan bagi perkembangan baru dalam kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kemungkinan-kemungkinan ini timbul karena para tokohnya dapat mengemukakan pandangan-pandangan yang tidak fantastis. Yang di tinjauan adalah hal-hal yang dekat dan berada dalam lingkungan manusia itu sendiri. Di bawah ini akan di uraikan dengan singkat garis besar pandangan utama tokoh-tokoh idealisme dan realisme.

           G.W. Leibniz, ahli ilmu pasti dan filsafat, menjejakkan kedua belah kakinya di atas bumi dengan menyusun teori mengenai alam semesta. Ia merumuskan antara lain bahwa semua kejadian dan fakta itu saling berhubungan dan merupakan sistem yang harmonis. Saling hubungan dan sistem ini telah ada sebagai pembawaan dari alam semesta itu sendiri.

           Teori Leibniz di atas dijelaskan dengan antara lain mengemukakan pengertian mengenai nomaden. Nomaden adalah atribut hakiki dari segala sesuatu yang ada, yang bersifat abstrak, yang masih mungkin terpikirkan oleh manusia.

           Tiap nomaden mencerminkan sifat-sifat alam semesta, sesuai dengan apa yang tercipta oleh Tuhan. Berarti, bahwa meskipun atribut ini terbatas, mempunyai kemungkinan untuk menuju ke kesempurnaan dengan caranya sendiri.

            Sesuai dengan sifat serba tuju dari alam ini, tiap nomanden bergerak mengarah ke tujuan yang sesungguhnya, yang tidak terbatas, yaitu Tuhan. Tuhan adalah sumber dan akhir dari semua rentetan ada. Teori nomaden ini mengungkapkan bahwa tiada yang vakum dalam alam semesta ini.

           Immanuel kant menyelidiki tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan yang dihasilkan oleh budi manusia. Tokoh ini sampai kepada pengakuan bahwa ilmu itu mengandung kebenaran dan budi manusia dapat mencapai kebenaran tersebut.

           Pengetahuan, menurut Kant, dapat dipaparkan dengan purusan, dan putusan adalah merupakan rangkaian pengertian subjek dan predikat. Rangkain ini dapat analitik atau sintetik. Yang analitik adalah putusan yang predikatnya telah tercantum tentu ada subjeknya. Misalnya, benda itu mempunyai keluasan. Keluasan telah tercantum dengan niscaya pada pengertian benda dan karena itu benda harus mempunyai keluasan. Putusan yang sinetik yang predikatnya tidak tercantum niscaya pada subjeknya. Misalnya, tembok itu baru. Baru sebagai predikat tidak tercantum niscaya pada subyek, sebab ada tembok yang tidak baru.

           Putusan analitik bersifat a priori karena untuk ini tidak diperlukan pembuktian lebih lanjut melewati pengalaman. Seperti halnya contoh di atas, bahwa benda mempunyai keluasan, tidak diperlukan lagi pembuktian bahwa mempunyai ukuran atau tidak. Pada pihak lain putusan sintetik bersifat a posteriori, karena untuk ini diperlukan pembuktian dalam pengalaman. Kalau dikatakan air mendidih pada 212 F, orang masih mempunyai bahwa titik derjat ini mungkin tidak tetap. Maka diperlukan adanya usaha pengumpulan fakta berdasarkan pengalaman sampai dapat disimpulkan bahwa titik suhu tersebut merupakan petunjuk titik mendidih.

           Kemampuan budimanusia untukmencapai kebenaran ini menjadi dasr pandangan bahwa tiap-tiap orang sadar bahawa ia harus memenuhi kewajibannya. Kata hati memberi perintah kepada manusia itu sendiri : engkau harus. Keharusan ini terletak pada budi manusia, karena itu bersifat obyektif. Jadi, bila tingkah laku itu berdasarkan atas apa yang harus diperbuat-yang berlaku bagi seluruh manusia-perbuatan itu susila, dan sejalan dengan kesadaran akan kewajipan manusia itu sendiri.

           Tokoh lain, O.W.F. Hegel, mencari mutlak dari yang tidak mutlak. Dikatakan bahwa yang mutlak itu adalah jiwa (Roh). Yang menjelma pada alam, maka sadarlah ia akan dirinya. Roh mempunyai inti yang disebut idea atau berpikir.

           Kemanusiaan itu merupakan bagian dari idea yang mutlak, yaitu Tuhan. Tuhan sendiri adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Gerak ini menimbulkan proses yang disebut dialektika, yang berlaku menurut hukum budi, yang terdiri dari tesis, anti-tesis dan sintesis.

           Tokoh berikutnya adalah Arthur Schopenhauer. Ia mengatakan perenungan dan mengambil kesimpulan hidup ini penuh dengan kemurungan, yaitu tiada kepuasan atas terujudnya kemauan sepanjang hayat manusia. Kenyataan ini hanya dapatdikuasai oleh usaha manusia itu sendiri untuk mencapai kehampaan yang Abadi atau Mutlak.

           Sebagai tokoh yang mempunyai aliran voluntarisme, Scopenhauer berpendapat bahwa voluntas (kehendak) adalah motor (bagi manusia) untuk mencapai tempat atau kedudukan penting.

           Tokoh-tokoh empiris Inggris adalah pelopor realisme modern. Di bawah ini adalah uraian singkat tentang beberapa pandanagan tentang kefilsafatan menurut Thomas Hobbes, John Locke, George Berkeley, David Hume dan Francis Bacon.

           Thomas Hobbes menunjukkan dengan jelas sekali kedudukannya sebagai filsuf empiris. Dikatakan bahwa pengetahuan yang benar adalah yang dapat dijangkau oleh indera. Jadi pengetahuan tidak dapat mengatasi (melampaui) penginderaan. Persentuhan dunia luar dengan indera, jadi bersifat empirik, menjadi pangkal dan sumber pngetahuan.

           Di samping faham mengenai pengetahuan ini, Hobbes terkenal pula dalam lapangan filsafatpolitik. Tokoh ini berusaha untuk mempertahankan monarkhi mutlak dengan membuktikan bahwa manusia itu bersifat materialistis dan egoistis. Maka perlu adanya pengetahuan yang kuat agr manusia dapat melindungi diri sendiri dari kemungkinan adanya “perampokan” kekuasaan yang bersumber pada nafsu-nafsu jahatnya.

           John Locke menunjukan gagasan-gagasan filsafat politik pula. Ia berusaha membuktikan bahwa karena ide-ide itu timbul dari persepsi dan refleksi yang dilakuakan oleh manusia itu sendiri, maka tidak sewajarnyalah jika manusia itu berada di bawah kekuasaan yang lain kecuaki dirinya sendiri.

           Dalam menerangkan usaha manusia untuk mencapai pengetahuan, John Locke mengemukakan pengertian-pengertian “sensation” dan “reflection”. “sensatioan” merupakan gejala jiwa yang mempunyai hubungan dengan dunia luar, tetapi belum sempurna meraih dan mengerti dan sesungguhnya apa yang dihayati. “Reflection” adalah pengenalan intuitif yang dapat memberikan kesan pengetahuan yang lebih baik kepada manusia daripada “sensation”. Tiap pengetahuan terujud dari hasil kerjasama antara “sensation” dan “reflection” tersebut. Selanjutnya, empirisnya John Locke ini mendasarkan atas Dzat Tertinggi. Ialah sumber dan sebab tertinggi mengenai adanya persepsi-persepsi pada manusia itu.

           David Hume mengemukakan analisa mengenai pengetahuan dan substansi. Pengetahuan adlah sejumlah pengalaman, yang timbul silih berganti. Masing-masing pengalaman itu mengadakan impresi tertentu bagi orang yang menghayati. Subsatansi itu sebenarnya tidak ada, karena sebenarnya adalah perulangan pengalaman yang tadi. Dengan perulangan-perulangan orang akan mempunyai idea mengenai sesuatu yang dihayati dan dipelajari.

           Francis Bacon, tokoh utama Inggris yang lain ini, adalah pemegang canang ilmu pengetahuan modern. Dalam bukunya yang berjudul Nuvum Organum, bacon mengatakan bahwa menurut pandangan dan kesimpulannya pada masa lampau dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan ini manusia baru sedikit hubungannya dengan dunia luar. Pada hal dunia luar adalah realitas yang sesungguhnya.

           Pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia selam itu terlalu abstrak dan ilusif. Ini  disebabkan oleh kebiasan penyusunan pengetahuan dengan penggunaan metode deduktif, yang tidak diimbangi oleh metode lain. Oleh karena dunia luar itu adlah realitas  yang sesungguhnya, maka pengetahuan itu diperoleh manusia dari dunia luar. Agar maksud ini dapat tercapai metode induktiflah yang setepat-tepatnya untuk diterapkan. Metode ini dimulai dengan usaha untuk menemukan pengetahuan dan kebenaran yang bersifat khusus, berangsusr-angsur sampai pada kesimpulan yang sifatnya umum.

           Dalam salah satu tulisannya yang berjudul The News Atlantis, Bacon mengemukakan buah pikirannya mengenai peranan ilmu bagi masyarakat. Ditunjukan olehnya tentang adanya berbagai segi kehidupan masyarakat yang dapat ditingkatkan dan diperbaiki segi kehidupan masyarakat yang dapat ditingkatkan dan diperbaiki dengan pertolongan ilmu pengetahuan. Oleh karena semua ini berguna bagi bangsa-bangsa, bacon berpikir l;ebih lanjut bahwa alangkah baiknya bila para ahli dari berbagai bangasa dapat bertemu untuk bertukar pikiran, mengadakan penyelidikan bersama demi kebahagiaan bersama. Lembaga tempat para ahli bekerjasama ini di sebut Rumah Nabi Sulaiman (Salomon’s House).

           Contoh-contoh singkat mengenai pandangan dari beberapa tokoh realis dan idealis modern di atas, menunjukkan adanya pemikiran-pemikiran yang serasi dengan kebutuhan zaman. Dari kaum realis nampak adanya usaha untuk menjadikan manusia dan lingkungannya sebagai obyek peninjauan. Setelah Hobbes mengadakan analisa mengenai sifat-sifat manusia, ia mengusulkan suatu bentuk pemerintahan untuk melindungi manusia. Jonh Locke, dengan “sensation” dan “reflection” menunjukan adanya hubungan penting antara manusia dan lingkungan. Sedangkan dari Francis Bacon dapat diketahui bahwa saj bukan saja dunia luar manusia penting, malahan hal-hal khusus yang merupakan komponen dari semuanya itu perlu dijadikan pangkal pemikiran mengenai tersusunnya pengetahuan dan kebenaran.

           Pandangan-pandangan kaum idealis menunjukkan pula adanya kemungkinan terbukanya perkembangan baru dalam lapangan kebudayaan dan ilmu. Hegel, misalnya, memberikan arti terhadap tiap kejadian dan fakta sesuai dengan konsepsi realita, bahwa realita obyektif itu mempunyai arti spritual dan ideal. Ini merupakan teras (core) dari alam semesta itu sendiri. Leibniz, menunjukan adnya kesatuan harmonis dari semua janis komponen dalam alam. Semua ini memancing untuk menjadi perhatian manusia, karena ia sendiri ada didalamnya. Lebih lanjut dari tokoh-tokoh ini, kant menunjukan peranan akal agar secara kritis mampu mengungkapkan makna dari ilmu pengetahuan. Maka, jelas bahwa idealisme modern ini menunjukkan berbagai persoalan yang ada di sekitar dan berhubungan dengan manusia, dan bukanlah hal-hal yang fantastis yang “melambung ke angkasa”.

 

PANDANGAN MENGENAI REALITA

         Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsepsi bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Ini berarti bahwa bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata tersebut. Di bawahiniadalah uraian mengenai penjabaran menurut realisme dan idealisme.

           1. Realisme yang mendukung esensialisme disebut realisme obyektif karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta tempat manusia di dalamnya. Terutama sekali ada dua golongan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi realisme ini.

           Dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam fisik ini dapat dipahami berdasarkan adanya tata-yang-jelas khusus. Ini berarti bahwa suatu kejadian yang sederhanapun dapat ditafsirkan menurut hukum alam, seperti misalnya daya tarik bumi. Di samping itu oleh ilmu-ilmu ini dikembangkanlah teori mekanisme, yang mengatakan bahwa dunia itu ada dan terbangun atas dasar sebab-akibat; terikan dan tekanan dari “mesin” yang sangat besar. Di samping itu teori mekanisme ini memperoleh dukungan perkembangan dari matematika, yang berbentuk dalam berbagai sumbangan. Antara lain bahwa semua gerak dengan hubungan dengan alam ini dapat dijabarkan secara kuantitatif, rumus-rumus dan persamaan-persamaan yang abstrak.

           Dari sinilah timbul pengertian-pengertian mengenai metode ilmiah dan metode eksperimental. Yang pertama trutama sekali terdiri dari usaha untuk menjabarkan semua proses dalam alam ini dalam rumusan-rumusan matematis dan yang dapat menerangkan tentang adanya hukum-hukum alam. Adapun mengenai eksperimen atau percobaan untuk mengetahui rahsia alm telah dirintis oleh tokoh-tokoh realis, di antaranya Newton.

           Dengan adanya visi yang mengarah pada penjabaran kuantitatif ini dan kegiatan-kegiatan eksperimentasi, adalah sewajarnya bila rahsia-rahsia alam semakin dapat diketahui oleh manusia. Sehubungan dengan ini pula adalah sewajarnya bahwa seusdah Newton ada perkembangan-perkembangan pandangan pula.

           Para ahli fisika sekarang memandang alam semesta ini sebagai medan enersi yang eksplosif dan bukan lagi sebagai badan yang bergerak mobil. Di samping itu tata alam sebagaimana nampak pada para ahli sekarang ini lebih kompleks dan lebih banyak segi-seginya daripada dugaan semula.

           Berhubungan dengan itu, teori evolusi, sebagai salah satu lapangan pengetahuan sesudah fisika merupakan faktor yang mempengaruhi realisme obyektif pula. Teori ini, yang berlandaskan atas asas perkembangan, menjelaskan bahwa makhluk hidup dapat diterangkan dari peri kehidupannya atas dasar kompas atau hukumalam ini.

           Manusia, adalah makhluk hidup yang mengalami perkembangan yang berlangsung dengan teratur dan proses menurut hukum mekanis. Dalam hal meneruskan kelangsungan hidupnya di dunia, pada manusia berlaku “survival of the fittest” dan ‘stuggle for existence”.

           Sehubungan dengan teori evolusi dari Darwin ini, diperkirakan adanya pengaruh terhadap pandangan tokoh-tokoh tertentu. Misalnya, pada herbert Spencer evolusi menjiwai konsep-konsep yang di terangkan dalam bukunya Sistem of Syinthetic Philosophy. Spencer mengatakan bahwa yang dapat dikenal bukan ada, tetapi yang menjadi. Ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan menjadi, sedangkan filsafat mencakup keseluruhannya.

           Dengan memperhatikan uraian singakat di atas, yang mencakup adanya pengaruh dari fisika dan teori evolusi, dapatlah disimpulkan bahwa realita menurut realisme obyektif haruslah ditafsirkan atas dasar pengertian-pengertian yang mekanistik evolusionistis. Pandangan ini berarti pula merupakan pandangan dari esensialisme.

            2. Idealisme obyektif mempunyai pandangan kosmis yang lebih optimistis dibandingkan dengan realisme obyektif. Yang dimaksud dengan ini bahwa pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini pada hakekatnya jiwa atau spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa sesuatu yang ada ini nyata. Ajaran-ajaran Hegel memperjelas pandangan tersebut di atas.

    Hegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan, bahwa tiap tingkat peradaban dikuasai oleh hukum-hukum  dan diikuti oleh tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis.

    Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikir Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai peraturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti spritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir tersebut juga merupakan gerak pula.

      Gerak yang timbul bukanlah yang maju lurus, melainkan yang dapat menimbulkan gerak pula. Dengan demikian menimbulkan tesis, anti tesis dan sintesis. Anti tesis adalah gerak yang bertentangan dengan tesis, yang diikuti sintesis. Sintesis ini selanjutnya merupakan tesis baru, dan selanjutnya timbul perulangan proses berlandaskan hukum budi yang sama. Kesimpulan yang dapat diambil adalah segala sesuatu yang ada dan yang akan terjadi itu akan berkembang menurut tata tertentu.

    Ciri lain mengenai penafsiran idealisme tentang sistem dunia tersimpul dalam pengertian-pengertian makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos menunjuk kepada keseluruhan alam semesta dalam arti susunan dan kesatuan kosmis. Mikrokosmis menunjuk kepada fakta tunggal pada tingkat manusia. Manusia sebagai individu, jasmani dan rohani, adalah makhluk yang semua tata dan kesatuannya merupakan bagian yang tiada terpisahkan dari alam semesta. Pengertian tentang makrokosmos dan mikrokosmos ini merupakan dasar pengertian mengenai hubungan antara Tuhan dengan manusia

 

PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN

    Pada kacamata realisme masalah pengetahuan ini, manusia adalah sasaran pandanagan dengan penelaahan bahwa manusia perlu dipandang sebagai makhluk yang padanya berlaku hukum mekanistis evulosionistis. Sedangkan menurut idealisme, pandangan mengenai pengetahuan ini bersendikan pada pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang adanya merupakan refleksi dari Tuhan dan yang timbul dari hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos.

Bersendikan prinsip di atas dapatlah dimengerti bahwa realisme memperhatikan berbagai pandangan dari tiga aliran psikologi:asosianisme, behaviorisme dan koneksisme. Dengan memperhatikan tiga aliran ini, yang dasrnya mencerminkan adanya penerapan metode-metode yang lazim untuk ilmu pengetahuan alam kodrat, realisme menunjukkan sikap yang lebih maju mengenai masalah pengetahuan ini dibanding dengan idealisme.

Langkah maju ini tercermin pada kenyataan bahwa selain konsep-konsep dari tiga aliran tersebut dapat dipahami secara teoritis, juga di dalam praktek dapat diperkaya dengan pengumpulan data dari lapangan. Di samping itu, sebagaimana diutarakan di bawah ini, tiga aliran tersebut memiliki sifat-sifat yang satu sama lain saling mennyempurnakan.

Asosianisme, yang berasal dari beberapa filsuf inggris ini, bahwa gagasan atau isi jiwa ini terbentuk dari asosiasi unsur-unsur yang berupa kesan-kesan yang berasal dari pengamatan. Kesan-kesan tersebut, yang juga disebut tanggapan, dapat diumpamakan sebagai atom-atom dari jiwa.

Behaviorisme mengemukakan konsep yang dapat mengatasi kesederhanan konsep dari asosianisme. Maka ditetapkan tingkah laku sebagai istilah dasar, yang menunjuk kepada hidup mental. Dikatakan, bahwa usaha untuk memahami hidup mental seseorang berartiharus memahami organisma. Sedangkan pemahaman mengenai organisme ini berarti menginjak lapangan nerologis, maka masalah ini tidak dapat dipisahkan dari lapangan pengalaman.

Menurut behaviorisme, masalah pengetahuan (yang dapat ditangkap oleh manusia) tidak dapat dipisahkan dari proses penanaman kondisi. Untuk ini dikembangakan teori Sarbon. Suatu penghayatan kejiwaan terdiri dari proses yang paling sederhana yang terdiri dari  rangsang (stimulus) dari luar (pribadi seseorang), yang disambut dengan tanggapan tertentu (response). Rangsang dan tanggapan menjadi suatu kesatuan (sarbon). Dalam proses berikutnya, peristiwa kejiwaan akan berupa saling hubungan antar unsur-unsur di atas dalam berbagai cara dan bentuk (associanism).

Koneksionisme, sebagi gerakan ketiga, mempunyai konsep-konsep yang bersifat meningkatakan pandangan dari behaviorisme. Dikatakan bahwa manusia, dalam hidupnya, selalu membentuk tata jawapan (pattern of responses) dengan jalan memperkuat atau atau memperlemah hubungan antara stimulus (S) dan response (R). dengan jalan ini terjadi gabungan-gabungan hubungan S-R, yang selalu menunjukkan kualitas tinggi-rendah atu kuat-lemah. Untuk ini dikembangkan beberapa kaidah mengenai beberapa kaidah mengenai belajar dan menahan pengetahuan yang telah menjadi milik seseorang.

Di samping koneksionisme dapat meletakkan pandangan yang lebih meningkat dari asosianisme dan behaviorisme juga menunjukkan bahwa dalam hal belajar ini perasaan yang dimiliki manusia mempunyai peranan terhadap berhasil tidaknya belajar yang ia lakukan.

 

PANDANGAN MENGENAI NILAI  

            Nilai, seperti halnya pengetahuan berakar pada dan diperoleh dari sumber-sumber obyektif. Sedangakan sifat-sifat nilai tergantung dari pandangan yang timbul dari realisme dan idealisme. Kedua aliran ini menyangkut masalah nilai dengan semua aspek peri kehidupan manusia yang berarti meliputi pendidikan. Pandangan dari dua aliran ini, yang mengenai nilai pada umumnya dan nilai keindahan pada khususnya akan dipaparkan berikut ini.

           Menurut realisme, kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konsepsuil terlebih dahulu, melainkan tergantung dari apa atau bagaimana keadannya bila dihayati oleh subyek tertentu dan selanjutnya akan tergantung pula dari sikap subyek tersebut.

 Untuk hal yang pertama, dapatlah ditunjukkan bahwa nilai mempunyai pembawaan atas dasar komposisi yang ada. Misalanya, kombinasi warna akan menimbulkan kesan baik, bila penempatan dan fungsinya disesuaikan dengan pembawaan dan komponen-komponen yang ada. Khususnya, sebagai contoh, temperamen warna putih dan biru akan sesuai dengan warna kuning atau putih. Yang berwarna putih atau biru akan cocok dipakai oleh orang yang warna kulitnya kuning atau putih.

Untuk hal yang kedua, dapatlah diutarakan bahwa sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Oarang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang, haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk ini, ekspresi perasan yang mencerminkan adanya serba kesengguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan itu dapat menunjukkan keindahan baik pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.

George Santaya memadukan dua hal tersebut di atas dalam satu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu.

Teori yang lain yang timbul dari realisme disebut determinismetis. Dikatakan bahwa semua yang ada di alam ini, termasuk manusia, mempunyai hubungan hingga merupakan rantai sebab-akibat. Dialog dengan keadaan ini dan hal-hal yang berlangsung pada masa lampau, terutama yang langsung berhubungan dengan manusia, dapat memberikan pengaruh terhadap baik buruknya manusia tersebut. Selain yang sudah lampau, dengan sendirinya juga keadaan dan hal-hal yang tercermin pada waktu sekarang. Demikian pula bagaimana orang tersebut pada masa yang akan datang, sebagian akan tergantung dari rangkaian sebaab - akibat yang berkembang dari sekarang sampai dengan waktu yang akan datang tersebut. 

 Dapat dikatakan bahwa mengenai masalah baik-buruk khususnya dan keadan manusia pada umumnya, realisme bersandarkan atas keturunan dan lingkungan. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan yang timbul sebagai akibat adnya saling hubungan antara pembawaan-pembawaan fisiologis dan pengaruh-pengaruh dari lingkungan. Misalnya, soal perang. Perang selalu mungkin karena adanya kenyataan bahwa manusia itu mempunyai insting kekejaman. Maka agar dapat dicegah timbulnya peperangan di dunia, salah satu usaha yang diperlukan adalah adanya pendidikan ke arah perdamaian.

 

NILAI KEINDAHAN   

Nilai keindahan adalah suatu kenikmatan yang dihasilkan dalam pengalaman bila kognisi dan perasan bercampur atau saling pengaruh mempengaruhi. Yang dimaksud dengan kognisi di sini adalah persoalan persepsi sebagaimana dihubungkan dengan kenikmatan keindahan. Apa yang dihasilkan ditambah dengan perasan yang mengikutinya. Berarti bahwa kenikmatan seseorang mengenai keindahan itu merupakan perpaduan antara pengalaman, persepsi dan perasaan.

Kesenian, menurut realisme, adalah hidup sebagaimana adanya, maka kesenian dengan sendirinya berisikan hal-hal yang kompleks sebagaimana hidup itu sendiri. Ditinjau dari sudut manusia, faktor yang amat penting dalam tinjauan mengenai pengalaman kesenian ini, kesenian dapat memiliki sifat-sifat yang kaya seperti yang dialami oleh manusia, misalnya harmoni-disharmoni, suka duka, dan lain sebagainya. Pokoknya kesenian adalh pencerminan dari alam atau kehidupan sebagaimana wajarnya.

 

PANDANGAN MENGENAI PENDIDIKAN

Pandangan mengenai pendidikan yang diutarakan disini bersifat umum, simplikatif dan selektif, dengan maksud agar semata-mata dapat memberikan gambaran mengenai bagian-bagian utama dari esensialisme.

Essensialisme timbul karena adanya tantangan mengenai perlunya usaha emansipasi diri sendiri, sebagaimana dijalankan oleh para filsuf pada umumnya ditinjau dari sudut Abad Pertengahan. Usaha ini diisi dengan pandangan-pandangan yang bersifat menanggapi hidup yang mengarah kepada keduniaan, ilmiah dan teknologi, yang ciri-cirinya telah ada sejak zaman Renaisans.

Dalam rangka menunjukkan antesedens esensialisme ini, akan dipaparkan secara historis kronologis dengan mengetengahkan tokoh-tokoh yang utama. Penggalan kronologis dijatuhkan kepada periode sebelum dan sesudah tahun tiga puluh abad ini.

Desiderius Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir Abad ke 15 dan permulaan Abad ke 16, adalah tokoh yang mula-mula sekali berontak terhadap pandangan hidup yang berpijak pada “dunia lain”. Tokoh ini berusaha agar kurikulum di sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional, yang dapat diikuti oleh kaum tengahan dan aristokrat. Pendidikan yang dilewatkan mereka ini memberikan kemungkinan dapat berlangsungnya perubahan diharapkan oleh Eramus tersebut. 

          Tokoh berikutnya, Johann Amos Comenius (1592-1670) adalah pendidik Renaisans pertama yang berusaha untuk mensistematisasikan proses pengajaran. Tokoh ini dengan menilik pandangan-pandangannya, dapat disebut seorang realis yang dogmatis. Ia berkata antaralain bahwa hendaklah sesuatu diajarkan melalui indera karena indera adlah pintu gerbang jiwa. Jadi pintu gerbang dari pengetahuan itu sendiri. Di samping itu, comenius mempunyai pendirian bahwa karena dunia itu dinamis dan bertujuan, tugas kewajipan pendidikan adalah membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan.

          John locke (1632-1704), adalah tokoh dari Inggris yang dikenal sebagai “pemikir dunia ini”, ia berusaha agar pendidikan menjadi dekat dengan situasi-situasi. John Locke mempunyai sekolah kerja untuk anak-anak miskin.

          Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827) percaya sedalam-dalamnya mengenai alam dalam arti peninjauan yang bersifat naturalistis. Alam dengan sifat-sifatnya tercermin pada manusia, yang karenanya manusia memiliki kemampuan-kemampuan wajarnya. Di samping itu Pestalozzi percaya akn hal-hal transedental, dengan mengatakan bahwa manusia itu mempunyai hubungan transendental langsung dengan Tuhan.

          Pandangan yang serba transendental ini nampak pula pada Johan Friedrich Frobel (1782-1852), dengan corak pandangannya yang bersifat kosmis-sintetis. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan dan merupakan bagian dari alam ini. Oleh karena itu tunduk dan mengikuti ketentuan dan hukum-hukum alam.

          Dengan tertarik kepada pendidikan anak kecil, Frobel memandang anak sebagai makhluk yang berekspresi kreatif. Dalam tingkah laku demikian ini tampak adanya kualitas metafisis; maka tugas pendidikan adalah memimpin anak didik ini kearah kesadaran diri sendiri yang murni, sesuai dengan pernyatan dari Tuhan.

          Johan Friedrich Herbart (1776-1841), salah seorang murid Immanuel Kant, adalah tokoh yang selalu bersikap kritis. Ia berpendirian bahwa tujuan pendidikan ini adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dariYang Mutlak, yang berarti antara lain penyesuaian sdengan hukum-hukum kesusilaan. Prosese untuk mencapai tujuan pendidikan ini oleh Herbart disebut pengajaran yang mendidik.

          Tokoh terakhir yang perlu dibicarakan dalam rangka menyingkap sejarah sejarah esensialisme ini adalah William T. harris (1835-1909). Sebagai tokoh Amerika Serikat yang dipengaruhi oleh Hegel ini berusaha menerapkan idealisme obyektif pada pendidikan umum. Menurut Harris, tugas pendidikan adalah mengijinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang tidak terelak (pasti) bersendikan kesatuan spritual. Sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-menurun, dan menjadi penuntun penyesuaian orang kepada masyarakat.

          Oleh karena terasaskan adanya saingan dan progresivisme, maka pada sekitar tahun 1930 timbul organisasi yang bernama Essentialist Committee for the Advancement of Education. Dengan timbulnya Komite ini pandangan-pandangan esensialisme (menurut tafsiran Abad XX), mulai diketengahkan dalam dunia pendidikan. William C. Baglay, salah seorang tokoh komite, mengemukakan pandangan progresivisme yang panting tentang perlunya ada “progres yang seluas mungkin untuk menyampaikan ajaran atau pengetahuan kepada anak didik,” dikatakan, bahwa bukan hanya prosese yang penting, melainkan juga isi. Isi yang sembarang akan menjadikan pendidikan tidak menetu, untuk ini hendaklah dipilih warisan sosial dengan proses bagaimana menyampaikan nilai esensial kepada anak didik.

 

PANDANGAN MENGENAI BELAJAR   

          Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauan mengenai pribadi individual dengan menitik beratkan pada aku. Menurut idealisme, bila seseorang itu belajar pada tahap permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos.

          Sebagai contoh, dengan landasan pandangan di atas, dapatlah dikemukakan pandangan Immanuel Kant (1724-1804). Dijelaskan bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia lewat indera memerlukan unsur a priori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.

          Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman tau pengamatan. Jadi, a priori, yang terarah itu bukanlah budi kepada benda, tetapi benda-benda itulah yang terarah kepada budi. Budi membentuk, mengatur dalam ruang waktu.

          Dengan mengambil landasan pikir di atas, belajar dapat didevinisikan sebagai jiwa yang berkembang kepada diri sendiri sebagai substansi spritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri.

          Pandangan realisme mengenai belajar, tercermin antara lain pada pandangan ahli-ahli psikologi, diantaranya seperti pandangan-pandangan dari Edward L, Thorndike pendukung aliran koneksionisme. Koneksionisme mendekatistudi mengenai manusia dengan pengurangan sampai dengan sifat-sifat mekanistis kuantitatif. Ini tercermin antara lain dalam teori Sar. Bon. Berarti bahwa belajar itu adalah tidak lain mengadakan penyesuaian dengan yang ada.

          Seorang filsuf dan ahli sosiologi yang bernama Roose L.Finney menerangkan tentang hakekat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan rokhani yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umunya menerima apa saja yang telah tertentu yang diatur oleh alam. Berarti pula bahwa pendidikan itu adalah proses reproduksi dari apa yang terdapat dalam kehidupan sosial. Jadi belajar adalah menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan kepada angkatan berikutnya.

          Pandangan-pandangan realisme di atas mencerminkan adanya dua jenis deternimisme yaitu determinisme mutlak dan deternimisme terbatas. Yang mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengenai hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti penyesuaian supaya dapat tercipta suasan hidup yang harmonis. Banyak tata dalm alam ini seperti teraturnya perjalanan matahari, perbedaan letak kawasan yang sekaligus membawa perbedaan jenis dan sifat musim, adalah gejala-gejala mutlak, yang bagi manusia tiada lain kecuali harus menyesuaikandiri. Sedangkan determinisme terbatas memberikan gambaran kurangnya dunia pasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini berarti tidak mungkin adanya penguasan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawasan diperlukan. Untuk ini di samping mengetahui dan mengenal, pada orang yang belajar perlu dibangkitkan kemauan dan kemampuan yang memungkinkan mengawasi hal-hal yang mengenai lingkungannya itu. Dengan demikian jiwa yang mempelajari sesuatu adalah jiwa yang aktif.

PANDANGAN MENGENAI KURIKULUM

          Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Bersumber atas pandangan ini, kegiatan-kegiatan pendidikan yang dilakukan. Pandangan dari dua tokoh akan dipaparkan di bawah ini.

          Herman Harrell Horne menulis dalam bukunya yang berjudul This New education mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan atas fundamaen tunggal, iaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik tersebut. Atas dasar ketentuan ini berarti bahwa kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen itu.

          Semua yang ideal baik, yang berisi manifestasi dari intelek, emosi dan kemauan, ini semua perlu menjadi sumber kurikulum. Berhubung dengab itu kurikulum hendaklah berisikan ilmu pengetahuan, kesenian dan segala yang dapat menggerakakan kehendaki manusia.

          Bogoslousky, dalam bukunya The Ideal School, mengutarakan hal-hal yang lebih jelas dari Horne. Di samping menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian, ialah:

a)    Universum. Pengetahuan yang merupakan latar belakang dari segala manifestasi hidup manusia. Diantaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal-usul tata surya dan lain-lainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.

b)   Sivilasi. Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera.

c)    Kebudayaan. Karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.

d)   Kepribadian. Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologis, emosional, dan intelekyual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan yang ideal tersebut.

                        Dalam lingkungan idealisme adanya gagasan yang merupakan komponen pengembangan kurikulum cukup banyak. Dalam variasi di atas nampak adanya kesamaan prinsip, adalah tekanan kepada segi-segi kejiwaan dan pembentukan watak dengan menggunakan alat disiplin, pengawasan dan lain-lainnya. Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada hakekatnya kurikulum disusun secara fleksibel karena perlu mendasarkan atas pribadi anak, fleksibilitas ini tidak tepat diterapkan pada pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Untuk ini perlu diadakan perencanaan dengan kesaksaman dan kepastian.

          Di samping Ulich, Horne mengemukakan bahwa kurikulum sebagai kegiatan dalam pendidikan adalah prosese penyesuaian yang bersifat kosmis. Anak didik perlu disiapkan supaya berpikir dan berbuat sebagaimana seharusnya. Maka dari itu pengetahuan-pengetahuan yang disampaikan kepada anak didik hendaklah disusun sedemikian agar dapat diterima secara normatif sebagaimana mempelajari nilai-nilai hidup.

          Butler mengemukakan bahwa sejumlah anak tiap angkatan baru haruslah dididik untuk mengetahui dan mengagumi Kitab Suci. Sedang Demihkevic menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi.

          Realisme mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling kompleks. Misalnya, mengenai isi mata pelajaran matematika dan bahasa, semula diberikan dasar-dasar yang fundamental yang selanjutnya menjadi makin meningkat hingga pelajaran bagian-bagian yang menggunakan angka dan bahasa sebagai dasar.

          Susunan seperti yang diutarakan di atas dapat diibaratkan sebagi susunan dari alam, yang sederhana merupakan fundaman atau dasar dari susunannya yang lebih kompleks. Jadi, bila kurikulum disusun atas dasar pikiran ini akan bersifat harmonis.

Related Posts

Post a Comment