-->

Ad Unit (Iklan) BIG

CIRI-CIRI UTAMA PERENIALISME

Post a Comment

 

            Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan ke simpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagi zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial kultural yang lain. Ibarat kapal yang akan berlayar, zaman memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas. Perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan pangkalan yang demikian ini merupakan tugas yang pertama-tama dari filsafat dan filsafat pendidikan.

          Perenialisme mengambil jalan regresif, karena mempunyai pandangan bahwa tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada prinsip umum yang telah menjadi dasr tingkah laku dan perbuatan Zaman Kuno dan Abad Pertengahan. Yang dimaksud dengan ini adalah kepercayaan-kepercayaan aksiomatis mengenai pengetahuan, realita dan nilai dari zaman-zaman tersebut. Semuanya ini telah dianggap sebagai dasar sivilasi dari abad ke abad.

          Motif perenialisme dengan mengambil jalan regresif bukanlah hanya nostalgia atau hanya rindu akan nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja, melainkan berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut mempunyai kedudukan fitalbagi pembangunan kebudayaan abad ke-20. prinsip-prinsip aksiomatis yang tidak terikat oleh waktu itu, terkandung dalam semua sejarah.

          Perenialisme merupakan filsafat yang susunan dirinya merupakan kesatuan. Maka dari itu premis-premis yang disusn merupakan hasil pikiran yang memberi kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus. Oleh karenanya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang evolusionistis dan naturalistis.

 

ANTESEDENS  

        Istilah perenial berarti terus tiada berakhir. Pengertian ini dapat dianalogikan dengan bunga yang terus menerus mekar dari musim ke musim Darigejala kehidupan-kehidupan bunga-mekar dari musim ke musim ini merupakan teras, karena merupakan gejala yang terus ada dan sama bila gejala dari musim ke musim itu dihubungkan satu sama lain seolah-olah merupakan benang dan corak warna yang khas; terus-menerus sama.

          Atas dasar pandangan di atas, maka untuk tiap sivilasi perlu diteliti tentang adanya watak yang selalu berulang kembali dan sama itu. Tampa usaha semacam ini manusia akan kehilangan jejak dan faktor-faktor yang menstabilkan peradabannya sendiri.

          Benang dengan warna yang khas yang terus menerus ada ini, harus dicari dalam lingkup filsafat dan cabang-cabang utamanya, seperti metafisika, epistemologi, aksiologi dan logika. Tetapi dengan mengambiltokoh-tokoh yang memang mempunyai pandangan seperti yang diharapkan. Jadi, dapatlah dianalogikan dengan pekerjaan dokter, bahwa tokoh-tokoh inidapat memberikan resep pengobatan bagi zaman yang sedang sakit,meskipun dokter-dokter lain yang dapat memberikan bantuan tidak boleh diabaikan.

          Perenialisme berpendapat bahwa tokoh-tokoh yang mampu kearah itu adalah Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas, karena memiliki pendirian-pendirian dan pandangan-pandangan yang masih mempunyai arti bagi abad ke-20. Di samping itu pendirian dan pandangan-pandangan itu masih dapat pula dipertimbangkan sebagai dasar dan pedoman kebudayaan abad ke-20 ini.

          Plato (427-347 SM), adalah filsuf idealis, Plato memandang dunia ide sebagai dunia kenyataan. Maka, menurut tokoh ini ide adalah realitas. Oleh karena itu filsafat plato dipandang beraliran yang realistis.

          Dalam tulisannya yang terkenal, Republik, plato menunjukkan adanya filsafat spekulatif yang tinggi dengan formulasi yang masak. Ia percaya bahwa jalan untuk membntuk masyarakat menjadi stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi tiap orang atau tiap kelas menurut kapasitasnya masing-masing dalmmasyarakat sebagi keseluruhan. Mereka yang memiliki kebajikan dan kebijaksanan yang cukup dapat menduduki posisi yang tinggi, dan seterusnya ke bawah bagi mereka yang mempunyai kualitas yang tinggi, dan seterusnya ke bawah bagi mereka yang mempunyai kualitas yang lebih rendah. Dari atas ke bawah mengambil urutan-urutan para raja, filsuf, perwira dan prajut, pekerja tangan dan budak. Yang paling atas adalah mereka telah bertahun-tahun mengalami pendidikan dan latihan, dan telah menunjukkan sifat superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta menunjukkan cara hidup menurut kebenaran tertinggi.

         Dalam buku Republik itu dikupas dan dicari standar mengenai kebenaran tertinggi. Ini dinyatakan oleh Plato dengan doktrin terkenal yang disebut Ide. Di dunia ini tetap dan satu jenisnya, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dan menjadi contoh dunia pengalaman.

         Dunia ide adalah berbeda dengan dunia pengalaman, yang penangkapannya dilakukan oleh indera. Yang pertama tetap sedangkan yang kedua berubah-ubah. Dunia kedua ini juga disebut dunia bayang-bayang.

         Sekali manusia mengenal dan menguasai dunia ide, ia dapat mengetahui jalan yang passsti. Dengan demikian dapat menggunakan sebagai alat untuk mengukur, mengadakan klasifikasi dan penilaian terhadap segala sesuatu yang dialami sehari-hari.26) Salah seorang diantara murid-muird Plato adalah Aristoteles (483 – 322 SM).

         Meskipun tokoh ini murid Plato, Aristoteles berusaha untuk menghilangkan pandangan dualistis dari gurunya mengenai dunia, ialah dunia ide dan dunia bayang-bayang. Untuk ini diciptakanlah teori hilomorfisme, suatu teori bentuk dalam unsur-unsur,gagasan dalam benda-bendanya atau jiwa dalam badan.

         Dunia, menurut Aristoteles, adalah tunggal, yaitu, suatu kesatuan dalam tata kosmis. Untuk ini Aristotele mengemukakan teori yang bersendikan atas gambar piramidda yang disebut piramida ontologis Aristoteles.

         Bagian bawah piramida itu, terutama di bagian dasarnya tttterdapat pernyataan yang berujud unsur (matter) dengan  bentuk  yang paling kecil di antara ssemua yang berbentuk. Keadaan ini berubah bila kenyataan itu menanjak dari bagian bawah melalui sisi-sisinya hingga sampai pada tingkat yang paling tinggi.

         Puncak ini bebas dari sifat-sifat kotor dan pengalaman yang fana, dan disebut penggerak yang tiada gerak, yang mempunyai sifat-sifat ke-Tuhanan. Secara terus menerus puncak ini menarik dan meningkatkan hal-hal atau benda-bendda yang lebih rendah ke arahnya.

         Dengan demikian jelaslah tendensi daripada kenyataan itu adalah menuju arah aktualitas, sehingga makin lama makin jauh dari potensialitasnya. Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu setiap waktu adalah potensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas. Misalnya, meskipun manusia dalam hidupnya tidak jarang dikuasai oleh sifat eksistensi keduniaan, tidak jarang pula berkat dimilikinya akal, perasaan dan kemauannya, semua ini dapat di kurangi. Hal-hal   yang bersifat partikular yang merintang kehidupan dapat diatasi. Maka, dengan peningkatan suasana hidup spritual ini manusia dapat makin mendekatkan diri kepada Gerak yang Tanpa Gerak itu,,, ialah tujuan dan bentuk terakhir dari segalanya. Kenyataan hidup seperti terlukis ini selalu menjadi irama manusia.27)

         Pada Abad Pertengahan filsafat Yunani umumnya dan filsafat Arristoteles khususnya yang berjudul Filsafat Islam, menerangkan bahwa kepudaran tersebut disebabkan antara lain karena analisa-analisa dengan akal iitu belum tentu dapat menjawab semua pertanyaan dan mengumpulakan kebenaran yang sesungguhnya. Misalnya, Aristoteles mengatakan bahwa baik itu adalah yang buat semua orang dikatakan baik. Tetapi Aristoteles tidak berhasil untuk menerangkan, mengapa sesuatu yang lebih dikatakan baik dapat dianggap tidak baik oleh orang lain.28)

         Ketika Islam datang, berkembanglah filsafat Islam yang diairi dengan pelajaran Hikmah yang tertera dalam kitab suci Al-Qur’an. Maka, karena filsafat Yunani dapatdihidupkan kembali, tulisan-tulisan Arristoteles dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Karya-karya ini menjadi bahan pengalaman pertama bagi filsuf-filsuf berikutnya.

         Meskipun dalam Abad Tengah kepercayaan agama mengalahkan filsafat dalam arti pengujian kritis, maka ada reformasi pendirian bahwa akal tidak dapat “tidur”. Pada zaman itu terdapat ahli-ahli fikir yang tidak puas dengan hidup penuh kemenurutan terhadap agama dan otoritas mutlak.

         Kristalisasi “hidup keembalinya” akal berada dalam suatu gerakan intelektual yang disebut scholastisisme. Tujuan utama gerakan ini adalah menunjukan adanya eksistensi Tuhan, sifat-sifat keabdian dan jaminan tentang adanya kesemuanya itu.

         Pada zaman ini tampillah Thomas Aquinas, seorang tokoh yang hidup dari tahun 1225 sampai tahun 1274, yang sebagian dari ajaran-ajarannya menjadi penuntun perenialisme. Meskipun tokoh ini telah mempelajari dengan saksama ajaran-ajaran Aristoteles, dikembangkanlah ajaran yang berlainan. Ajaran (aliran) ini disebut Thomisme.

          Mengenai ontologi, Thomas Aquinas mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segala sesuatu yang menyertai-Nya adalah baik pula. Maka dari itu tidak tepatlah bila di dunia ini diadakan pembedaan mana yang baiak dan mana yang buruk.

         Perlu ada perbedaan sebagai berikut : ada mahluk ada yang diadakan, sedangkan adanya Tuhan itu ada dengan sendiri. Maka, dapatlah dikatakan filosofis bahwa ada Tuhan adalah esensinya, sedangkan ada mahkluk tidak sama dengan esensinya. Ada makhluk memang tidak terpisahkan dari esensinya, tetapi dapat dibedakan satu sama lain, sedangkan pada Tuhan keduanya identik.

         Pandangan di atas mengemukakan dua unsur yang satu sejenis dengan hilomorfisme menurut pandangan dari Aristoteles. Di samping itu Thomas Aquinas mempunyai pandangan tentang dualisme, tetapi yang berbeda dengan ajaran Plato.

         Tokoh ini mengemukakan bahwa pengetahuan itu mula-mula merupakn persentuhan dengan badan (indera), dan ini masih merupakan bahan. Budi lalu mengolah bahan itu menjadi pengetahuan. Bila belum diolah oleh budi dapat juga disebut pengetahuan tetapi yang baru mempunyai sifat-sifat jasmaniah belaka.

         Budi adalah kemampuan manusia yang tinggi, yang mempunyai cita-cita untuk menuju ke kebenaran sejati yang bersumber pada Tuhan.

         Selain budi, manusia juga mempunyai kehendak. Baik budi maupun kehendak menuju kepada Tuhan. Maka jelaslah makin besar arah budi dan kehendak manusia kepada semuanya, berarti semakin besarlah partisipasi manusia di dunia menurut kehendak Tuhan.

         Dari uraian di atas, jelaslah bahwa manusia mempunyai dua jenis kepercayaan, yaitu yang berdasarkan wahyu dari Tuhan yang bersifat rasional. Keduanya perlu bagi pembinaan individu dan sifilasi, karena saling menyempurnakan pula. Misalnya, dalam lapangan kesusilaan, manusia dapat menyusun hukum-hukum kesusilaan, tapi hukum itu dapat sempurna bila dilingkungi oleh hukum-hukum supernatural.

         Pandangan-pandangan Thomas Aquinas berpengaruh besar dalam gereja Katolik. Demikian pula aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Lain daripada itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perenialisme.

         Selain perenialisme terdesak karena perkembangan politik dan industri yang cukup berat, timbulah usaha untuk membangkitkan kembali dengan nama gerakan neoscholastisisme atau neo-Thomisme, yang inti sari alam pikirnya tetap perenialistis.

         Neo-scholastisisme atau neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan jaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke 20. Misalnya, mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Namun semua yang bersendikan empiri dan eksperimentasi hanya di pandang hanya sebagi pengetahuan yang fenomenal. Maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia dikemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah ditekankan pada sifat spritualnya. Simbul dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya, manusia dapat mengerti, dan memahami kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan religi.

         Tokoh-tokoh perenialis abad ke-20 diantaranya adalah : jacques Maritain, Aldous Huxley, berjijdev dan Alder. Banyak tulisan yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh tersebut.

 

PANDANGAN MENGENAI REALITA

         Agar manusia dapat berpijak pada pendirian-pendirian yang benar, yang karenanya dapat tegak berdiri dalam arti spritual, perlu dijamin dengan pandangan-pandangan mengenai kenyataan yang bersifat universal. Artinya dimanapun dan bila manapun tidak berubah.

         Berhubung dengan kupasan-kupasan yang bersifat ontologis haruslah sampai pada pengertian-pengertian yang bersifat hakiki. Ontologi perenialisme antara lain terdiri dari pengertian-pengertian seperti benda individual, esensi, aksiden dan substansi.

         Benda individual adalah sebagaimana nampak di hadapan manusia dan ditangkap dengan panca indera seperti batu, lembu, oarang dan sebagainya. Dari penangkapan ini dapat dihayati perwujudan dari benda-benda tersebut seperti bentuk dan warna. Esensi dari sesuatu adalah kualitas yang menjadikan atau menyebabkan benda itu lebih intrinsik daripada halnya.

         Aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan sifatnya kurang penting dibandingkan dengan yang esensial. Sebagaimana contoh misalnya, orang suka bermain sepatu roda, suka berpakaian bagus.

         Kenyataan yang diketahui atau dihadapi oleh manusia mengenai hal-hal tersebut di atas tidaklah terlepas satu sama lain, tetapi seketika bersama-sama. Malahan ditambah dengan sifat-sifat lain seperti yang partikular, partikular dan universal, material dan spritual. Kesatuan dari tiap-tiap yang berpasangan pada tiap-tiap individu atau hal ini disebut substansi. Akallah yang harus mengadakan pembedaan mengenai sifat-sifat tersebut.

         Di samping hal-hal yang telah diutarakan di atas, perenialisme mengemukakan bahwa realita itu bersifat teleologis, yang berarti mengandung tujuan. Oleh karena semua hal itu bersumber pada kenyatan yang bersifat spritual, maka tiap-tiap hal itu terarah untuk mencapai tujuan masing-masing. Untuk ini perlu tiap hal atau benda melewati jalannya sendiri-sendiri yang tidak dapat dihindari.

         Ada empat macam sebab (kausa) yang menjadi pendukung atau pendorong terjadi atau berlangsungnya sesuatu. Istilah-istilah beserta pengertiannya yang berasal dari Aristoteles ini terdapat dalam karya Plato yang berjudul Fisika. Plato menerangkan dalam buku itu bahwa istilah-istilahini menjelaskan tentang adanya garis perjalanan sesuatu benda dan penting bagi dasar pemahaman bila seseorang akan mengikuti dan mengadakan penemuan mengenai benda yang bersangkutan.

         Keterangan mengenai kausa-kausa tersebut adalah sebagai berikut :

(a)  Kausa materialis, adalah bahan yang menjadi susunan sesuatu benda, misalnya batu atau kayu patung;

(b) Kausa formalis, bentuk atau model sesuatu benda, miasalnya bulat panjang atau patung tersebut ;

(c)  Kausa effisiens, gerakan yang digunakan dalam pembuatan. Misalnya, gerak yang penuh usaha dari seniman yang membuat patung itu, dan

(d) Kausa finalis adalah akhir atau tujuan sesuatu benda. Misalnya, konsep mengenai patung itu dalam jiwanya seorang seniman.

Bila kausalitas ini teruskan tinjauannya, maka akan terasakan bahwa kausalitas merupakan mata rantai yang tiada putusnya sebelum sampai kepada pertanyaan adanya penyebab pertama atau kausa prima. Maka sesuai dengan konsep mengenai piramida ontologis, kausa prima itu berada pada puncaknya: sebagai Tuhan, sebab Pertama, dan Penggerak yang tiada Gerak.

Tuhan adalah Aktualitas Murni dan Bentuk Murni, sama sekali sunyi atau sepi dari substansi. Oleh karena itu akal manusia tidak mampu untuk menggambarkan atau mengira-irakan wujud dan bentuk-Nya karena semuanya berada di atas akal. Maka dari itu berarti pula bahwa ke-Tuhanan berada dalam lapangan kepercayaan

 

PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN

          Perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara fikir dengan benda-benda.

          Yang dimaksud dengan benda-benda adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. Ini berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi sesuatu.

          Bila hal-hal tersebut di atas dibandingkan dan teliti, orang akan sampai kepada dalil-dalil yang meyakinkan. Syarat yang diperlukan agar sampai pada prinsip-prinsip seperti di atas adalah bila dalil-dalil tersebut mengandung ketepatan. Artinya telah memenuhi syarat-syarat logis, sehingga sukar untuk ditolak atau dibantah. Akal perlu mengadakan tinjauan agar pengertian-pengertian yang dirumuskan memiliki evidensi diri sendiri.

          Pengertian-pengertian yang mengandung prinsip pertama menurut Aristotles adalah :

(a)  “Prinsipium identitas”, yang mengatakan a sama dengan a Berarti bahwa obyek atau benda a selalu menyamai dirinya sendiri. Prinsipium ini disebut pula hukum identitas.

(b)  “Principium contradictionis”. Kalau dikatakan a sama dengan b, dan di samping itu dikatakan pula bahwa a tidak sama dengan b, maka salah satu dari keterangan tersebut tentu tidak benar. Jadi, bila dari satu keterangan datang kesalahan, maka dari keterangan yang lain tentu datang kebenaran.

(c)  “Principium exclusitertii”. Ini mengatakan bahwa tidak benarnya keterangan yang satu, berarti membenarkan kebenaran yang lain. Misalnya, bila a sama dengan b dan a tidak sama dengan b, maka tidak mungkin diperoleh keterangan ketiga mengenai a dan b tersebut. Berarti tidak benarnya keterangan yang satu berarti membenarkan keterangan yang lain.

(d)  “Principium rationis suffecientis”. Bila mengenai sesuatu dapat diterangkan asal atau sebabnya, dapat diterangkan pula mengenai akibatnya dan tujuanya. “Prinsipium” ini disebut pula hukum mansahkan hulum.

Metode yang diperlukan yang dapat menuntun orang untuk sampai kepada pemikiran hakiki seperti di atas adalah penalaran. Penalaran mempunyai hukum-hukumnya sendiri untuk dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian yang logis.

Ajaran lain yang dapat digunakan sebagai pegangan adalah juga berasal dari aristoteles yang dinamakan logika. Juga biasa disebut organon (alat).

Logika Aristoteles terutama sekali membicarakan dua hal pokok : jalan pikiran (rationorium) dan bukti. Jalan pikiran adalah silogisme. Silogisme menunjukkan adanya hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan konklusio (kesimpulan). Masing-masing terdiri dari putusan. Tiap putusan terdiri dari pengertian yang berhubungan satu sama lain. Contoh mengenai silogisme:  kalau kita menerima premis bahwa semua manusia itu adalah “animal rasionale” dan kita akui bahwa si Badu adalah manusia, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa si Badu adalah “animal rasionale.”

Selain dengan cara deduktif seperti di atas, manusia perlu mengenal dunia dengan cara kebalikannya, ialah induktif. Cara ini memulai pengenalan dengan hal-hal partikular.

Dalam hal induksi, Aristoteles berpendapat bahwa ini adalah suatu usaha terpaksa dari manusia karena kekurangan-kekurangannya. maka, ia bergerak perlahan-lahan ke arah  pemahaman umum karena tidak dapat segera mampu mengetahui universilitas, yang sebenarnya selalu ada. Sedangkan Thomas Aquinas berpendapat bahwa meskipun tindakan persepsi indera itu mengenai hal yang partikular, isinya universal. Jika belum mengandung hal-hal yang universal adalah mustahil data partikular itu dapat membangun kesimpulan-kesimpulan yang universal.

Atas dasr pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat ada dan berkembang atas dasarnya sendiri-sendiri, dengan adanya perbedaan-perbedaan metode yang digunakan. Akan tetapi sering kali filsafat memberikan putusan akhir terhadap hasil-hasil yang telah dicapai oleh ilmu. Misalnya, para ahli dapat menanyakan peranan ilmu bagi pembinaan kesejahteraan kemanusiaan. Oleh karena kemanusiaan perlu dicegah dari kemungkinan destruksi, maka ilmu yangmembahayakan kemanusian perlu dihambat perkembangannya dan hasil-hasilnya dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan.

Jawab semacam ini berasal dari filsafat.

 

PANDANGAN MENGENAI NILAI

Hekekat manusia itu pertama-tama adalah pada jiwanya. Oleh karena itu hakekat manusia juga menentukan hakekat perbuatan-perbuatannya dan persolan nilai adalah persoalan spritual.

Hakekat manusia adalah emansi (pancaran) yang potensial yang berasaldari dan dipimpin oleh Tuhan, atas dasar inilah tinjauan mengenai baik dan buruk itu dilakukan. Berarti dasar-dasar yang digunakan haruslah teologis.

Neo-thomisme memasukkan etika dan estetika ke dalam golongan filsafat praktis. Filsafat ini mencakup prinsip-prinsip universal yang praktis.

Oleh karena secara teologis manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, sedang kebaikan tertinggi adalah nilai yang merupakan suatu kesatuan dengan Tuhan, maka usaha manusia itu mengandung hal-hal praktis. Ini berarti bahwa manusia berada dalam suatu suasana hidup tertentu yang bersifat rasional, yang kedudukannya lebih rendah dari yang pertama. Keterangan mengenai prinsip-pronsip di atas adalah seperti di bawah ini.

Sebagai contoh dapat diutarakan bahwa kebahagiaan duniawi sebagai kebaikan itu ada, dan merupakan bagian yang satu dari hidup itu sendiri. Tetapi kebahagian itu baru akan tetap tinggi nilainya, bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka. Sebab, taraf ini adalah taraf hidup materiil. Maka dari itu agar kebahagiaan itu dapat meningkat dari taraf keduniaan (materiil) ke taraf spritual perlu dikuasai dan dituntun oleh akal.

Masalah ini dapat diterangkan dengan menunjuk kepada pandangan Aristoteles mengenai kebajikan, yang dibedakan menjadi dua : (a) intelektual dan (b) moral.

Kebajikan moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan kebiasaan, yang merupakan dasar dari kebajikan intelektual. Ada yang bersifat intelektual dibentuk oleh pendidikan dan pengajaran. Berarti bahwa kebajikan ini didasari oleh pertimbangan dan pengawasan dari akal.

          Seperti halnya etika, estetika oleh perenialisme digolongkan pula ke dalam filsafat praktis. Kesenian, sebagai salah satu sumber penikmatan keindahan, adalah suatu kebajikan intelektual yang bersifat praktis filosofis.

          Seorang seniman mengadakan ekspresi terhadap benda (materi), agar dapat memberi makna perwujudan aktualitas dari benda-benda itu sesuai dengan potensialitasnya masing-masing. Jadi bila seorang seniman berusaha menunjukkan nili keindahan ia bersendikan prinsip-prinsip metafisik. Berhubung dengan itu keindahan sebagai nilai tertinggi dalam estetika, haruslah yang mengandung kabaikan tertinggi dalam arti etik. Ini berarti bahwa apa yang dapat dinilai indah haruslah yang dapat dipandang baik. Berarti pula bahwa dalam mempersoalkan masalah keindahan haruslah bersendikan atas dasar-dasar teologis, Ke- Tuhanan.

          Di samping itu rasa keindahan yang berarti adalah yang dapat dialami dengankatarsis, iaitu yang dapat menigkatkan hidup manusia dalam arti spiritual. Dengan demikian kegembiraan dan kesenangan yang dialami manusia berada dalam suasana peningkatan hakekatnya sendiri. 

 

ANTESEDENS

          Pandangan mengenai pendidikan yang wajar untuk menjadi antesedens adalah pandangan dari tokoh-tokoh utama perenialis pada masa sebelum abad modern. Berhubung dengan ituy pembicaraan mengenai pendidikan secara umum akan terdiri dari pandangan dari Plato, Socrates dan Thomas Aquinas dan diteruskan dengan pandangan dari tokoh-tokoh modern.

          Plato membentangkan pandangan mengenai pendidikan yang tidak terlepas dari pandangan politis dan doktrin mengenai dunia ide. Pandangan politisnya bersifat aristokratis. Sedangkan pengertian-pengertian mengenai dunia ide menjadi tumpuan terbentuknya pengertian hakiki mengenai realita, pengetahuan dan nilai, yang terdiri dari semua hal yang ada, yalah satu arkhetipe-arkhetipe dari semua benda partikular, kebenaran dan kebaikan.

          Berhubung dengan landasan pikiran di atas tujuan utama pendidikan adalah melatih pemimpin-pemimpin yang dapat mengakui dan melaksanakan tuntutan kebajikan dari ide-ide tersebut. Program pendidikan hendaklah disusun dan dilakukan dengan sengaja dan dimulai sejak anak dilahirkan sampai orang dewasa mencapai usia 50 tahun. Jangka waktu ini dibagi menjadi tahapan-tahapan umur.

          Tahapan-tahapan umur untuk pendidikan ini adalah sampai umur 20 tahun dengan pusat perhatian pengajaran muzik, gimnastik, membaca, menulis, berhitung dan latihan kemiliteran. Dari umur 20 sampai 30 tahun pendidikan dipusatkan pada ilmu pasti dan pengetahuan alam kodrat; dari umur 30 tahun sapai 35 tahun pada filsfat. Dan dari umur 35 sampai 50 tahun pada pengalaman-pengalaman praktis dalam masyarakat. Untuk tahap terakhir ini ketabahan yang bersifat moral dan intelektusl mendapat ujian dengan sungguh-sungguh.

          Program pendidikan yang ideal didasarkan atas faham adanya nafsu, kemauan, dan akal sebagai potensi jiwa manusia. Tiga kemampuan ini perlu mendapat perhatian dan perhitungan dalam pendidikan. Misalnya perkembangan anak-anak terutama mengenai nafsu dan kemauan. Maka tekanan pendidikannya pada gimnastik dan muzik. Sedangkan pada tingkat-tingkat berikutny terutama pada akal dan untuk itu perlu diberikan pengetahuan alam kodrat, ilmu pasti dan filsafat.

          Oleh karena akal mempunyai peranan untuk “memerintah” dua potensi jiwa yang lain, pendidikan akal mempunyai kelebihan dibanding dengan yang lain-lain. Latihan-latihan untuk akal harus lebih efektif dan lebih pasti dari pada yang lain.

          Aristoteles, sebagai murid Plato, juga memandang sangat penting perkembangan budi dengan menggunakan filsafat sebagai alat-alatnya. Latihan-latihan dalam lapangan ini perlu diutamakan karena merupakan proses pendidikan ke arah kebijaksanaan.

          Aristoteles menggangap penting pula pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan rendah, sebab pada tingkat pendidikan usia muda ini perlu ditanamkan kesadaran menurut aturan-aturan moral dan, dengan ditambah hukum pergaulan dan tradisi merupakan hundamen yang penting baagi perkembangan pribadi anak.

          Anak-anak memerlukan tuntutan yang perlu sesuai dengan tujuan yang hendak di capai. Hal ini perlu karena anak harus diangkat ke atas, supaya unsur-unsur atau gerak anak-anak itu selalu berada di atas bentuk dan tujuannya. Pikiran Aristoteles adalah sesuai dengan pahamnya tentang piramida, yang mencakup pengertian tentang potensialitas dan aktualitas. Bila cita-cita pendidikan seperti tergambar pada piramida itu tidak dapat tercapai, berarti bahwa aktualitas anak masih berada di bawah potensialitasnya.

          Berdasarkan tinjauan filosofis hal seperti di atas itu belum merupakan inti hakikat perkembangan manusia yang ideal. Maka dari itu teori ini menyarankan agar guru memiliki potensialitas yang lebih dari siswa-siswanya. Dengan demikian guru akan mampu untuk menuntun berbagai kualitas dan kemampuan anak didiknya.

          Aristoteles juga mengemukakan bahwa pendidikan yang baik adalah yang bertujuan kebahagiaan.  Kebahagiaan tertinggi adalah hidup spekulatif ; dan dengan jalan teori hilomorfisme Aristoteles mengajarkan bahwa kebahagiaan itu bulat dan seimbang.

 

THOMAS AQUINAS

          Tokoh ini mempunyai pandangan bahwa pendidikan adalah menarik atau menuntun kemampuan-kemampuan yang masih “tidur” menjadi aktif dan nyata. Tingkat aktif dan nyata yang timbul dari dan bergantung dari kesadaran-kesadaran yang mendukungnya pada tiap-tiap individu.

          Tuntunan yang berasal dari guru kepada anak didik berwujud sebagai pengajaran, yang berfungsi untuk membantu substansimanusia untuk berkembang dan kaya akan pengalaman –pengalaman yang berasal dari luar. Sedangkan tugas seorang guru dapat dianalogikan dengan seorang dokter.

          Guru adalah penghubung antara Kebenaran-Realira tertinggi dengan anak didik sebagai makhluk yang selalu untuk berusaha mengerti dan menginsyafi perihal realita dengan segala macam bentuk dan tingkat-tingkatnya. Dokter membantu organisma yang sakit atau luka dalam tendensi herensinya untuk menyembuhkan diri sendiri. Jadi, karena perananya sebagai penolong anak atau orang yang sudah dewasa untuk mengerti dan mendudukkan tendensi inherensinya, tugas guru dan dokter mempunyai kesamaan.

          Dalam Abad Pertengahan, filsafat pendidikan yang ada lazim bersifat teosentris, dan sejalan dengan ajaran-ajaran yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas. Pada Abad Pertengahan itu pula dukungan terhadap ajaran dari Thomas Aquinas kuat, malahan bersifat tunggal iaitu oleh Gereja Katolik. Gereja merupakan pusat pendidikan paling utama selama beberapa abad.

          Pada zaman sekarang, perenialisme berkembang dalam lingkungan yang lebih luas dibanding dengan periode-periode sebelumnya, artinya tidak hanya terbatas dalam lingkungan gereja Katolik. Dengan menggunakan panji-panji neoscholasticisme atau ne-Thomisme tokoh-tokoh tertentu menyebarkan gagasan –gagasan yang merupakan pandangan-pandangan baru. Tokoh-tokoh yang akan dipaparkan pandangan-pandangannya adalah Robert M. Hutchkins dan Jacques Maritain.

Robert M. Hutchkins, yang terkenal dengan usaha merintis gerakan “The Great Book Learning”, mengemukakan konsep mengenai isi pendidikan. Menurut tokoh ini konsep pendidikan yang isinya “penyesuaian terhadap lingkungan” dianggap tidak penuh dengan kebingungan. Kurikulum yang disusun atas dasar semacam ini dapat menjerumuskan pendidikan itu sendiri, karena sukar untuk dikendalikan.

Tugas manusia di dunia, menurut Hutchkuns, antara lain mengubah alam sekitar, bukan menyesuaikan dengan perubahan-perubahan. Berhubung dengan itu anak didik perlu “dipersenjatai” dengan sebaik-baiknya, dan “senjata” itu adalah nilai-nilai yang tinggi. Tetapi hal ini belum dapat menjamin bahwa anak didik dapat berbuat menurut prinsip tersebut di atas. Yang penting bukanlah yang banyak itu, tetapi penguasan dari hal-hal yang terpenting dari yang banyak itu. Yang terpenting inilah yang dapat diharapkan mempunyai peranan sebagai “senjata”.

Jacques Maritain, adalah tokoh kuat dalam lapangan agama Katolik dan filsafat dan mempunyai karya tulis yang cukup banyak. Di antaranya mengenai pendidikan dengan judul Educatiao at the Crossroad. Di bawah ini dikemukakan sejumlah disposisi dan norma fundamental mengenai pendidikan menurut maritain.

Disposisi yang terpenting adalah :

a)    Cinta akan kebenaran. Ini adalah tendensi utama dari intelek manusia.

b)   Cinta akan kebaikan dan keadilan. Inipun semuanya sesuai dengan sifat wajar manusia.

c)    Kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksisitensi. Yang dimaksud dengan ini adalah sikap yang wajar dari seseorang bahwa ia itu ada sebagi makhluk.

d)   Cinta akan kerjasama.

Berhubung dengan itu dapat ditentukan adnya norma-norma fundamental dalam pendidikan sebagai berikut :

a)     Perlu diusahakan agar disposisi tersebut di atas dapat tumbuh sebaik-baiknya dalam jiwa anak. Agar tendensi-tendensi tersebut mendapat pengaruh yang baik pendidikan perlu dilaksanakan dengan iluminasi dan pemberian semangat mengenai segala kebaikan.

b)     Pengaruh pendidikan hendaklah di uasahakan agar meresap ke dalam pribadi anak. Cara-cara pelaksanaan untuk ini adalah sebagai berikut : mula-mula mengikuti adanya perhatian spontan dan kecenderungan-kecenderungan wajar yang ada pada anak. Dengan melatih akal dan ingatan sebaik-baiknya dengan cerita-cerita yang mengandung ajran yang dalam, pendidikan berusaha agar pribadi anak didik mampu mengadakan adesi dengan realita. Kepada anak didik itu dipilih sedemikian agar adesi dapat berlangsung sebaik-baiknya.

c)     Pendidikan dan pengajaran adalah sarana untuk mengujudkan kebulatan (kesatuan) jiwa manusia dalam pribadi yang bulat dan seimbang pula. Pendidikan dan pengajaran perlu mempunyai implikasi dengan pengalaman dengan menempatkan pendidikan intelek sebagai prioritas utama. Jadi, apa yang dilaksanakan ini tidak semata-mata bersendikan atas spontanitas anak-anak.

d)     Tujuan pengajaran adalah agar anak didik dengan akalnya dapat menguasai apa yang dipelajari. Dengan demikian ia tidak berada di dalam ikatan pekerjaan, tetapi justeru di atasnya.

Cukilan pandangan Hutchkins dan Maritain ini menunjukkan adanya konsep pendidikan yang luas yang tersusun dengan maksud untuk disesuaikan dengan zaman. Sifat yang demikian ini nampak pula dalam bagian-bagian berikut ini, dan yang sekaligus merupakan kumpulan unsur kesamaan pandangan antar kaum perenialis.

 

PANDANGAN MENGENAI BELAJAR  

        Tuntutan tertinggi dalam belajar, menurut perenialisme, adalah latihan dan disiplin mental. Maka, teri dan praktek pendidikan haruslah mengarah kepada tuntutan tersebut.

Sebagai makhluk, manusia mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan makhluk lain, ialah karena memiliki sifat rasionalitas. Rasionalitas ini merupakan sifat umum manusia, dan merupakan evidensi sendiri. Permulaan dan akhir dari keaktifan  jiwa manusia adalah pada rasionalisme tersebut.

Sifat rasional dari pada manusia itu melahirkan konsep dasar tentang kebebasan. Bahwa dengan rasionya manusia dapat menghilangkan belenggu atau rintangan yang dihadapi, maka ia lalu merdeka. Kemerdekaan itu haruslah menjadi tujuan dan dilaksanakan dalam pendidikan, supaya anak didik mempunyai kemampuan berbuat dengan sengaja.

Atas dasar pandangan di atas dapatlah disimpulkan bahwa belajar itu pada hakekatnya adalah belajar untuk berpikir. Untuk ini perlu diadakan kebiasaan-kebiasaan sejsk anak didik masih muda.

Sebagai pendahuluan pendidikan ke arah tujuan tersebut, kecakapan-kecakapan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung, penting sekali karena merupakan permulaan dari yang lain-lain. Untuk tingkat yang lebih tinggi latihan-latihan yang diperlukan adalah mengenai paramasatra, logika dan retorika.

Dasar pikiran mengenai perlunya pendidikan dan pengajaran semacam ini adalah bahwa bahasa adalah intisari penguasaan logika dan retorika. Bahwa agar orang dapat menguasai kaidah kaidah pokok dalam berpikir, perlu belajar baik-baik untuk menghubungkan kata yang satu dengan yang lain, hingga dapat dicapai kejelasan tata. Maka rasio dapat memperoleh bahan-bahan untuk bekerja atau bertindak. Dengan demikian jiwa, jadi aku, dapat mengadakan hubungan ke dalam, artinya dengan sendiri; yaitu dengan orang lain.

Lain dari pada latihan-latihan di atas, semantik juga mempunyai peranan yang sangat penting. Pengetahuan ini, yang mengajarkan arti dari pada arti, dapat menjadi bekal cara berpikir yang lurus dan kaya. Cara inidapat mengantarkan seseorang berpikir dengan berhasil, karena bersendikan atas konsep-konsep yang abstrak.

Letak disiplin mental bila dihubungkan dengan gambaran piramida menurut Aristoteles ada pada salah satu bagian puncak dari piramida tersebut. Berarti dalam soal belajar yang terpenting adalah mengenai esensi, termasuk esensi dari materi yang diberikan kepada anak didik. Dan kualitas materi dari yang esensial adalah lebih sedikit dibanding dengan yang lain-lain.

Segi-segi yang bersifat esensial merupakan hasil saja dari kuantita materi keseluruhan. Maka dengan sendirinya materi di luar itu merupakan kuantita yang lebih segar dan ini dapat diujudkan dalamproses belajar sebagi perbuatan pengalaman langsung atau tidak langsung. Ini diuashakan terus bergerak dari hal-hal yang bersifat perifir sampai kepada yang hakiki dan metafisis.

Dalam rangka mencapai uasaha efesiensi dalam belajar, menggerakkan kognisi (mengetahui), afeksi (merasa) dan konasi (berbuat), merupakan kegiatan yang perlu mendapat perhatian yang cukup. Tujuannya tidak lain adalah agar anak didik mengalami perkembangan kepribadian yang utuh (integral) dan seimbang sesuai dengan pandangan bahwa manusia itu bersifat psikosomatis.

Belajar dapat dibedakan menjadi dua, iaitu belajar karana pengajaran dan belajar karena penemuan. Untuk yang pertama, adalah guru memberikan penerangan atau pengetahuan, juga mengadakan pencerahan. Pencerahan ini dapat dilakukan dengan jalan menunjukkan dan menafsirkan implikasi dari pengetahuan dan ilmu yang diberikan.

Untuk tipe belajar yang kedua tidak lagi memerlukan guru, siswa diharapkan telah dapat belajar atas kemampuannya sendiri.

 

PANDANGAN TENTANG KURIKULUM

Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak disik ke arah kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya. Jadi, akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan tersebut.

Perenialis tidak mengesampingkan memorisasi. Meskipun diketahui benar memorisasi itu bersifat mekanis, karena belajar mempunyai peranan untuk menerima benih-benih yang baik, maka memorisasi diperlukan. Memorisasi diperlukan agar benih-benih tersebut berada dengan baik dalam jiwa anak didik sebelum dapat berakar dan tumbuh.

Sejalan dengan pandangan di atas, perenialisme sangat menghargai pengalaman yang tidak langsung, meskipun tidak mengesampingkan pengalaman langsung. Diyakini pula agar mata pelajaran-mata pelajaran yang diterima anak didik dapat mencapai integrasi diperlukan adanya pengalaman langsung. Lain dari pada itu pengalaman langsung diperlukan untuk mempelajari kebutuhan riil manusia.

Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan yang serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti mebaca, menulis dan berhitung anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.

Tugas sekolah rendah yang lain adalah pendidikan watak dengan tekanan utama pada kebajikan-kebajikan moral. Untuk ini, yang diperlukan adalah penanaman dan latihan yang memadai agar tertanamanya kebajikan itu menjadi kuat.

Oleh karena pendidikan rendah baru memberikan pendidikan dasar, maka belum dapat dijadikan dasar pembaharuan sosial dalam arti sesungguhnya. Di samping itu belum juga dapat disebut sebagai badan untuk mengadakan pembaharuan sosial.

Prinsip-prinsip kurikulum untuk sekolah menengah dengan suatu prinsip peningkatan pemasakan akal anak didik. Peningkatan ini adalah dalam bentuk pendidikan umum, yang menuntun perkembangan umum, psikis dan fisik anak didik yang berumur dari 12 sampai 20 tahun.

Bagi mereka yang berumur 12 sampai 16 tahun kurikulum yang diperlukan terdiri dari bahasa-bahasa modern. Penguasaan bahasa akan merupakan usaha pengenalan dunia luas bagi anak didik.

Anak didik yang berumur 16 tahun sampai 20 tahun perlu mendapatkan pengetahuan dengan kelompok:

(a)          Yang merupakan kunci dari penalaran seperti logika, retorika, paramasastera dan ilmu pasti;

(b)         Yang termasuk ke dalam “buku-buku” besar sepanjang masa. Golongan ini adalah tulisan dari tokoh-tokoh besar, yang karenanya bernilai besar pula sepanjang masa.

          Golongan yang pertama adalah pengetahuan yang dapat meningkatkan atau mempertinggikecerdasan akal, sedangkan golongan kedua adalah isi hakiki dari kebudayaan.

          Kelompok-kelompok pengetahuan tersebut di atas bila dilanjutkan pada taraf pendidikan umum. Tugas pendidikan umum ini diselenggarakan pada tahun-tahun pertama.

          Mengenai hakekat pendidikan tinggi ini, Robert Hutchkins mengutarakan lebih lanjut, bahwa kalu pada Abad Pertengahan bersifat teologis, sekarang seharusnya bersendikan filsafat metafisika. Filsafat ini ada dasarnya adalah cinta intelektual dari Tuhan. Di samping itu, dikatakan pul  a bahwa karena kedudukan sendi-sendi tersebut penting, maka perguruan tinggi tidak seyogyanya bersifat utilistis.

          Sifat rang demikian itu telah sewajarnya dimiliki oleh perguruan tinggi. Untuk ini dapat dijelaskan bahwa meskipun perguruan tinggi di samping filsafat juga memlihara ilmu-ilmu lain, hubungan ilmu-ilmu ini dengan metafisika tetap ada. Misalnya,ilmu-ilmu sosial tentu mempunyai sangkut paut dengan filsafat praktis. Kalau dihubungkan dengan peri kesusilaan dalam pergaulan antar manusia, hal ini akan menyangkut etika. Oleh karena mengenai etika, maka dengan sendirinya mempunyai hubungan dengan metafisika pula.

Related Posts

Post a Comment