PENDAHULUAN
Pembicaraan mengenai suatu bidang
studitidak lengkap bila tidak disertai dengan tinjauan mengenai metode. Oleh
karena yang dimaksud dengan metode adalah suatu sarana untuk menemukan, menguji
dan menyusun data, yang diperlukan bagi pengembangan disiplin tersebut, maka
usaha pengembangan metode itu sendiri merupakan syarat mutlak. Dengan demikian,
dengan melalui tinjauan akademik, pengetahuan mengenai metode ini merupakan
bagian yang tiada terpisahkan dari
keseluruhan
disiplin yang bersangkutan.
Usaha untuk mengenal ciri-ciri metode
dalam filsafat pendidikan, dapat dilakukan lewat pengenalan mengenai ciri-ciri
perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan (science) pada umumnya. Hal ini
diteruskan dengan pengetahuan tentang jenis pertanyaan dalam pendidikan itu
yang termasuk dalam lingkup filsafat pendidikan. Dengan mengadakan identifikasi
ini pengenalan mengenai metode dapat dipermudah, karena hasil identifikasi
dapat memberi penerangan dan memperjelas lingkup filsafat pendidikan.
Dengan berpedoman pada dasr-dasar di
atas, uraian di bawah ini berturut-turut adalah mengenai: ciri-ciri perbedaan
antara filsafat dan ilmu pengetahuan (science) dan gambaran mengenai masalah
metode.
FILSAFAT
DAN ILMU PENGETAHUAN
Dalam sebuah analisa mengenai
filsafat, ilmu dan filsafat pendidikan dalam bukunya yang berjudul Introduction
to Philosophy of Education, Stella Van Petten Henderson mengemukakan, bahwa
filsafat selalu berusaha untuk memahami segala sesuatau yang timbul dalam
spektrum pengalaman manusia; dan berusaha untuk memperoleh pandangan yang luas
(komprehensif) mengenai alam, dan mampu memberikan penerangan yang universal
mengenai hakekat benda-benda (segala sesuatu).
Dengan demikian jelaslah bahwa
filsafat bukan hanya pengetahuan, tetapi berusaha menyelami hal-hal yang berada
di balik pengetahuan tersebut, untuk memahami adanya saling hubungan satu sama
lain. Dengan mengetahui saling hubungan ini diharapkan dapat dikenal adanya
implikasi yang dapat diperkirakan. Maka, sampailah fungsi dari filsafat sebagia
ilmu yang menjadi sumber kebajikan manusia. Artinya, dengan dasar pengetahuan
yang bersifat filosofis ini diharapkan orang dapat memberikan pendapat dan
keputusan yang serba bijaksana.
Baik ditinjau dari sudut peranan
filsafat maupun dari sistem implikatif peranan sebagai sumber kebajikan, nampak
adanya perbedaan hakiki antara filsafat dan ilmu pada umumnya. Kalau filsafat
memandang sesuatu secara “sinopsis”, ilmu menjurus ke bagian-bagian dengan
tujuan yang serba mendalam tiap bagian yang kecil sekalipun. Dengan berdasarkan
atas pengetahuan yang dapat dikumpulkan dari berbagai jenis lapangan tersebut,
”….filsafat berusaha untuk melihat alam semesta sebagai keseluruhan dan tempat
manusia di dalamnya. Keseluruhan mempunyai sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh
bagian-bagiannya dan semua sifat ini merupakan fokus utama dari filsafat.
Ilmu berusaha untuk mengetahui fakta
sebagaimana adanya, sedangkan filsafat berusaha mendalami bagaimana seharusnya
sesuatu itu. Dalam hal penemuan yang telah dihasilkan oleh suatu ilmu, filsafat
dapat membantu pemikiran tentang bagaimana hasil itu dapat digunakan sejauh
keperluan peningkatan kesejahteraan manusia.
Dalam ilmu, pengalaman manusia
merupakan permulaan dari usaha penelitian dan pengungkapan fakta, dan
pengalaman itu pula akan merupakan tempat untuk menguji hasil-hasil yang telah
dicapai. Filsafat, dalam usaha penelitian dan pengungkapan data mulai pula dari
pengalaman, tetapi karena hasil yang hendak dicapai itu bersifat komprehensif
dan berada di balik fakta dan pengalaman itu sendiri, maka akallah dengan
keterampilan ulah fikir, mampu menjangkau jauh ke arah kesimpulan-kesimpilan
yang hakiki.
Hal di atas dapat diterangkan dengan
kata lain, filsafat dan ilmu pengetahuan itu bersifat komplementer. Filsafat
dapat menetukan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh manusia demi peningkatan
ketenangan dan kesejahteraan hidup, pergaulan dan bernegara. Untuk ini bagi
bangsa Indonesia telah menemukan melalui filsafat Pancasila. Ilmu pengetahuan,
dengan dasar pijak tersebut di atas, berusaha dengan segala kegiatannya.
Mengumpulkan data atas dasar pengalaman untuk membantu bagaimana tujuan-tujuan
di atas dapat tercapai. Dengan demikian keyakinan akan kebenaran filsafat
Pancasila dapat terus ditingkatkan dan kebajikan dapat dirumuskan.
Adapun kedudukan filsafat pendidikan
dalam hal penemuan yang bersifat melampaui pengalaman ini adalah “penerapan
filsafat terhadap studi problema-problema pendidikan.” Maka, jelaslah bahwa
problema-problema tersebut harus yang memang sewajarnya ditinjau secara
filosofis.
Untuk memperjelas bagaimanasifat kadar
ilmiah dan filosofis, dalam rangka memahami makna metode filosofis, Anderson
mengihtiarkan hubungan antara ilmu pengetahuan dan filsafat sebagai berikut :
Ilmu Pengetahuan :
1.
Aslinya,
anak dari filsafat.
2.
Analitis,
meneliti semua fenomena setiap saat timbul dan melukiskan menurut
bagian-bagiannya.
3.
Memperhatikan
fakta, melukiskan sebagaimana adanya, berusaha mengadakan abstraksi dari
keinginan dan harapan manusia.
4.
Memulai
dengan asumsi-asumsi.
5.
Menggunakan
eksperimen sebagai salah satu metode utama; mengadakan pembuktian dengan alat
pengalaman indera.
Filsafat :
1.
Ibu
dari pengetahuan.
2.
Sinopsis,
meneliti dunia sampai alam semesta sebagai keseluruhan, dan sebagai mungkin
berusaha menerangkan dan memahami keseluruhan.
3.
Tidak
hanya memperhatikan benda-benda seperti adanya, melainkan sebagaimana mereka
seharusnya. Kehendak dan nilai-nilai pada manusia adalah faktor yang penting.
4.
Meneliti
senua pertanyaan dan semua asumsi.
5.
Memperhatikan
hasil penemuan utama dari ilmu, mengadakan pembukitan dengan akal yang
berdasarkan atas pengalaman manusia.
Dari perbandingan tersebut di
atas tampak sifat yang radikal daripada filsafat dibanding dengan ilmu
pengetahuan. Hal ini terlukiskan dalam istilah-istilah sinopsis dan melihat
segala sesuatu dari sudut keseluruhan, meninjau segala sesuatu tidak hanya dari
sudut keadaanya sekarang, juga dari sudut bagaimana seharusnya, dan menguji dan
memperhatikan semua asumsi.
Sifat-sifat tersebut di atas
menunjukkan bahwa filsafat, dalam arti metodologis, menggunakan sudut pandangan
hakiki terhadap obyeknya. Ini merupakan kekhususan atau suatu corak utama dari
filsafat tersebut.
Berhubung dengan corak
tersebutdi atas, hal-hal yang menjadi lingkup filsafat pendidikan untuk
diteliti adalah yang diawali oleh corak pertanyaan yang bersifat teoritik dan
hakiki; dan yang tidak hanya melihat hal sesuatunya itu dari sudut keadaan
sekarang, melainkan bagaimana seharusnya di masa yang akan datang. Hasil yang
dicapai memberikan pandangan jangkauan ke depan dan bersifat hakiki.
FILSAFAT
TRADISIONAL DAN FILSAFAT KRITIS
Sudah barang tentu dalam
berbagai jenis penelitian filsafat pendidikan, selain pertanyaan-pertanyaan
yang hendak dicari jawabanya harus bersifat filosofis, pertanyaan-pertanyaan
itu sendiri haruslah diketemukan. Untuk ini terlebih dahulu perlu ada tinjauan
tentang penegrtian filsafat tradisional dan filsafat kritis.
Filsafat tradisional adalah filsafat
sebagaimana adanya sistematika, jenis, serta aliran sebagaimana dijumpai dalam
sejarah. Jadi, kalau diajukan pertanyaan-pertanyaan maka jawab yang diperlukan
ada melekat pada masing-masing jenis tersebut. Lain halnya dengan filsafat
kritis, pertanyaan-pertanyaan yang dapat disusun dapat dilepaskan dari ikatan
waktu (historis) dan usaha mencari jawab dapat “memobilisasikan” berbagai
aliran yang ada. Sedangkan jawab yang diperlukan dapat dicari dari
masing-masing aliran itu sendiri, diambilkan dari jenis masalah yang
bersangkutan dengan aliran yang bersangkutan.
Berbeda dengan dalam pengertian
filsafat kritis (critical philosophy) hal-hal yang diutarakan di atas
diusahakan penyelesaiannya dengan melalui jalan lain. Pertanyaan-pertanyaan
filosofis diusahakan jawabannya melalui analisa filosofis pula.
Analisa filosofis dan kritis
diperlukan, karena data yang diperlukan bukanlah yang diketemukan dari
penelitian laboratoria, melainkan dari perenungan. Harry Schofield mengatakan
bahwa analisa filosofis pada hakekatnya terdiri dari analisa linguistik dan
analisa konsep. Yang pertama adalah usaha untuk mengetahui arti yang
sesungguhnya dari sesuatu ; sedangkan yang kedua adalah analisa kata-kata yang
dapat dikatakan kunci atau pokok, yang mewakili suatu gagasan atau konsep. Pada
hakekatnya dua jenis analisa ini tidak dapat dipisahkan atau sama lain.
ANALISA BAHASA DAN ANALISA
KONSEP
Dua jenis analisa tersebut dikemukakan
agar penelitian filsafat tidaklah semata-mata mengadakan pendekatan yang
“historiko filosofis”, melainkan agar berfilsafat dalam arti sesungguhnya. Yang
pertama adalah mengadakan diteksi dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mana
yang telah mendapat jawab dari para ahli filsafat sepanjang sejarah. Dari
sekian jawab, dipilih oleh penanya mana yang sesuai dan dibutuhkan. Cara ini
sebenarnya bagi peneliti, bukanlah mengemukakan problema filosofis dan dijawab
secara filosofis pula.
Adapun cara yang kedua peneliti
mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis dan diusahakan jawabnyayang bersifat
filosofis pula. Cara ini berarti bahwa peneliti tersebut dapat benar-benar
terlibat dalam prosese penelitian itu sendiri.
Dua jenis pendekatan tersebut di atas
mempunyai makna penting baik bagi analisa bahasa maupun analisa isi.
Lebih-lebih lagi bila diingat bahwa analisa isi itu akan mungkin sekali
menyangkut berbagai istilah yang berkembang dari zamanke zaman, yang menyangkut
beberapa perubahan variabel. Semuanya ini akan menyangkut tinjauan mengenai
bahasa, meskipun mungkin tidak nampak adaanya perubahan prinsip-prinsip
problema sepanjang sejarah.
Analisa bahasa (linguistik) menurut
harry Schofield, adalah usaha untuk mengadakan interpretasi yang menyangkut
pendapat atau pendapat-pendapat mengenai makna yang dimilikinya. Di samping
itu, analisa konsep adalah suatu analisa mengenai istilah-istilah (kata-kata)
yang mewakili gagasan atau konsep. Contoh jenis-jenis tersebut adalah :
Penerapan analisa bahasa (linguistik)
antara lain untuk “sejarah adalah perkembangan yang menarik”. Sedangkan bila
usaha untuk mengetahui makna dari “sejarah” saja diperlukan analisa konsep.
a)
Analisa Bahasa
oleh karena bahasa itu dapat digunakan
secara rasional dan emosional, filsafat mengutamakan jenis yang pertama. Hal
ini penting untuk dijadikan pegangan, karena biasanya penggunaan bahasa yang
emosional itu berisikan prasangka dan gagasan-gagasan yang telah ada dahulu.
Maka dari itu ulasan-ulasan yang bersifat memasukkan unsur perasaan akan dapat
mengurangi sifat keobyektifan dari interpretasi atau pemberian arti.
Sehubungan dengan dasar analisa bahasa
yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa pengertian mengenai filsafat
pendidikan akan menggunakan sumber-sumber tertulis sebagai sumber pengambilan data.
Maka dari itu prinsip-prinsip yang berlaku mengenai penelitian deskriktif dan
historis dapat diterapkan bagi filsafat pendidikan. Termasuk dalam lingkup ini
antara lain : pemilihan dan pengumpulan sumber, kritik terhadap sumber, baik
yang eksteren maupun yang intern, dan analisa dokumen untuk mencari jawab
pertanyaan-pertanyaan yang menunjuk kepada jenis data yang diharapkan.
Dengan mengemukakan satu deretan
pertanyaan-pertanyaan yang mempunyai hubungan satu sama lain, diharapkan agar
analisa dokumen ini bukanlah semata-mata memperhatikan satu atau dua kata,
tetapi konsep-konsep dalam konteks yang semestinya. Schofield, dalam hubungan
ini mengemukakan, bahwa bila orang akan mempelajari makna dari “pendidikan
komprehensif”, ia tidak hanya memperhatikan kata-kata, tetepi juga perlu
memperhatikan gagasan-gagasan. Gagasan-gagasan ini adalah yang mempunyai
pengaruh terhadap seseorang sebagai orang tua, guru dan terhadap anak didik
sebagai seseorang yang akan dididik.
Di bawah ini adalah beberapa contoh yang lain sebagai penjelasan :
a)
Makna dari pendididkan pembangunan, perlu ditelaah ke dalam konteks makna dari
pembangunan itu sendiri, tujuan, peranan, fungsi dan sasaran-sasarannya.
b)
Makna dari pendidikan formal perlu dipelajari antara lain dalam konteks, makna
dan tujuan pendidikan nasional, sarana pencapaian dan jenis lembaga yang
diperlukan.
c)
Makna dari pendidikan non formal perlu ditelaah dalam hubungan dengan makna
pendidikan nasional, pendidikan formal dan peranan pendidikan bagi pengembangan
umum masyarakat.
d) Makna dari pendidikan tinggi suatu bangsa dapat
dipelajari dalam hubungannya dengan gagasan pengembangan ilmu dan kesejahteraan
bangsa di masa-masa yang akan datang.
b) Analisa Konsep
sesudah pada bagian-bagian di muka dibicarakan mengenai
analisa bahasa (linguistik), sampailah sekarang pada pembicaraan tentang anlisa
konsep. Hal ini adalah mengenai kata-kata yang dipandang pokok atau kunci, yang
mewakili gagasan suatu konsep.
Bila suatu analisa berusaha untuk menjawab mengenai apa-nya
sesuatu, makna apa yang dilakukan ini adalah analisa filosofis. Jawab ini akan
berbentuk sebagai definisi-definisi. Dalam hubungan dengan sumber-sumber
tertulis-sebagai sumber-sumber pengambilan data-maka definisi-definisi yang
diperlukan haruslah diangkat dari sumber-sumber tersebut. Di bawah ini adalah
beberapa cara :
(1) Secara historiko
filosofis.
Dengan berpijak pada
definisi sebagai dasar, maka analisa historiko filosofis akan mengungkapkan
suatu deretan definisi mengenai pendidikan dari Zaman Kuno sampai sekarang ini.
Tokoh-tokoh yang mempunyai andil dalam hubungan ini misalnya : Plato,
Aristoteles, Bertrand Russell, John Milton, Comenius, Mangkunagoro IV,
Yasadipura, Ranggawarsita, Mohammad Syafii, KHA Dachlan dan Ki Hadjar
Dewantara.
Rangkaian definisi
yang dapat diketemukan dalam analisa dokumen secara historika filosofis belum
dapat menjawab terakhir mengenai makna dari pendidikan itu sendiri. Orang masih
mempunyai kecenderungan untuk menerima beberapa dan tidak menggunakan yang
lain. Bila ditelaah sebab musabab sikap yang demikian ini, alasan yang dapat
dikemukakan adalah sering subyektif.
(2) Melalui tinjauan
tentang definisi
Agar dapat terhindar
dari kesulitan tersebut, studi filsafat perlu memperhatikan dua jenis definisi,
yang oleh Schofield dibedakan menjadi yang deskriptif dan yang stipulatif.
Definisi jenis pertama ini sering disebut definisi kamus (dictionary
definitions); definisi yang telah disusun dan telah merupakan standar. Bagi
seseorang yang mengadakan studi, persoalannya tinggal menerima atau tidak, atau
mengadakan elaborasi untuk mengubahnya.
Dengan memperhatikan
adanya kenyataan bahwa definisi-definisi mengenai pendidikan itu sendiri, usaha
untuk memikirkan makna dari pendidikan itu selalu ada proses. Dan dari inipun
dapat digambarkan bahwa pendidikan itu sendiri, usaha untuk memikirkan makna
dari pendidikan itu selalu berada dalam proses. Dan dari inipun dapat
digambarkan bahwa pendidikan, merupakan suatu “keluarga gagasan-gagasan yang
disatukan oleh jaringan (net work) kesaman-kesaman, yang saling melindih dan
bersilangan.
Ini berarti bahwa
untuk mengetahui makna pendidikan perlu diusahakan adanya tinjauan yang melihat
pensndidikan itu dari sudut proses, dan peneliti menempatkan diri sebagai
penanya yang bebas, baik dalam mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang relevan maupun mencari jawab yang
diperlukan. Cara ini adalah disebut cara
stipulatif.
Dalam hubungan
ini,Schofield bbbila pendidikan didefinisikan sebagai “ Pendidikan adalah…..”
merupakan sebuah definisi deskriptif; sedangkan bila “Pendidikan dpat
dipikirkan sebagai….” Adalh stipulatif. Atas dasar pijak ini dikembang kan
berbagai pemikiran yang memperjelas
makna dari pendidikan itu.
(3) Pendidikan sebagai
proses.
Dengan memperhatikan
pendidikan sebagai suatu proses, maka
agar dapat dikenal apakah suatu proses itu mempunyai aspek-aspek yang
termasuk ke dalam lingkup pendidikan , diperlukan standart untuk membandingkan.
Schofield, dengan mengutip pandangan dari
R.S. Peters, mengemukakan adanya tiga standard, untuk mengeahui suatu
proses itu termasuk ke dalam pendidikan atau bukan.
Dengan
mempertimbangkan revelansi, Peters memasukan tiga hal sebagai kriteria sebagai
berikut:
1. Pendidikan berisikan
pemindahan (transmission) apa yang berarti bagi mereka yang memerlukan
perkembangan untuk itu.
2. pendidikan haruslah
menyang kut pengetahuan dan pemahaman dan beberapa jen9is “perspektif kognitif”
yang tidak merupakan pembawaan.
3. Pendidikan akan
menyingkirkan beberapa prosodur pemindahan yang dapat mengabaikan kemauan dan
sikap sukarela dari pihak anak didik.8)
Tiga kriteria ini
mengandung unsur-unsur utama: nilai dan kebudayaan, yang dipindahkan dari satu
angkatan kepada angkatan berikutnya; pengetahuan dan pemahaman mengenai apa
saja yang dipindahklan; yang ketiga mengenai metode. Tiga unsur yang berupa
isi, keaktipan dan kemampuan yang diharapkan dari anak didik, serta metode yang
tepat, merupakan kesatuan yang menunjukkan ciri pengetian pendidikan.
Tinjauan seperti
tersebut dapat menghasilkan suatu kesatuan uth mengenai pandangan dalam
pendidikan. Denggan berpijak pada kriteria tersebut, peneliti dapat mengadakan
elaborasi penjabaran masalah yang tercakup pada tiap-tiap lingkup, dan setelah
ditinjau dalam bentuk-bentuk konsep, akan sampai kepada kesatuan gagasan
mengenai pendidikan.
Adapun dalam kaitannya
dengan analisa dokumen dan pengembangan konsep selanjutnya, Schofield
menunjukkan adanyanya beberapa rangkaian usaha agar sampai kepada hasil yang
setepatnya sebagai berikut:
1. berusaha untuk
menemukan kembali arti istilah-istilah pendidikan yamg bersangkutan (khusus),
yang telah kabur karena penggunaan istilah tersebut yang kurang teliti.
2. Konsep-konsep
tersebut dinilai obyektif, berarti menjauhkan dari gagasan-gagasan yang telah
ada pre-konsepsi.
3. Analisa yang
digunakan hendaklah bersendikan atas penerapan logika dan bukan semata-mata
atas dogmatisme. Hendaklah bukan karena reputasi seseorang suatu konsep
dinyatakan benar, melainkan karena secara obyektif dapat digunakan sebagai
pegangan.
Post a Comment
Post a Comment