-->

Ad Unit (Iklan) BIG

Ramadhan merupakan Universitas Rohani Terbesar

Post a Comment

 Puluhan rektor universitas di Amerika, beberapa tahun silam, berkumpul di dalam suatu konferensi di Universitas Michigen. Mereka seakan tersentak ketika Dr. Benyamin E Mays berkata, “Kita memiliki orang-orang terdidik jauh lebih banyak sepanjang sejarah. Kita juga memiliki lulusan-lulusan perguruan tinggi yang lebih banyak. Namun, kemanusiaan kita adalah kemanusiaan yang berpenyakit. Bukan pengetahuan yang kita butuhkan; kita sudah punya pengetahuan. Kemanusiaan sedang membuthkan sesuatu yang spiritual”.

Seketika mereka tersentak, karena menyadari bahwa selama ini perguruan tinggi yang telah mencetak manusia-manusia yang utuh; manusia yang bernalar tinggi tetapi berhati kering. Sarjana yang meraksasa dalam teknik tapi masih merayap dalam etik, intelek-intelek yang pongah dengan pengetahuan tetapi kebingungan untuk menikmati kehidupan. Demikian tulis Kang Jalal; “Renungan-renungan Sufistik”.

Bila gugatan Benyamin E Mays tersebut dibawa dalam konteks daerah Gorontalo, maka kita juga bisa mengasumsikan, sebetulnya tidak sedikit orang-orang Gorontalo yang pintar, ditambah dengan kenyataan bahwa mayoritas “orang-orang pintar tersebut” beragama Islam, apalagi mereka tentunya juga bisa berpuasa. Tapi kenyataannya, budaya aktivitas kita masih saja diwarnai oleh perilaku molinulo (menggunjing) , tutuhiya (saling menjatuhkan), molombuango (menyebut0nyebut kebaikan/pemberian) dan seterusnya. Pertanyaannya kemudian, “Mengapa ibadah Puasa sepertinya tidak memberi dampak yang berarti bagi perbaikan moral bangsa, paahal puasa Ramadhan telah menjadi semacam tradisi tahunan kita”. Pasca puasa Raamdhan, mengapa ‘gigitan sosialnya’ nyaris tidak terlihat dalam realitas kehidupan kita sehari-hari?”

Hampri setiap saat di bulan Ramadhan para penceramah, da’i, baik secara perorangan maupun  dalam bentuk Tim Safari Ramadhan (kerap diplesetkan dengan ‘tim kutiba’) seringkali menyerukan keutamaan-keutamaan ramadhan, terutama berkaitan dengan ajaran atau pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya. Untuk kesekian kalinya kita berpuasa, namun belum bisa mengehntikan praktek-praktek merusak masyarakat dan bangsa seperti: korupsi, penggelapan, penyelahguaan proyek, penyunatan bantuan, dan sebagainya, yang nyaris telah menjadi “nyanyian merdu” media massa. Ini berarti, kesalehan orang Islam seolah tampak hanya pada bulan Ramadhan.

Kalau kenyataan ini menjadi fenomena umum masyarakat Islam, maka sangat boleh jadi bila kemudian ada orang yang iseng-iseng bertanya “Apa yang salah dalam hal ini, ajaran puasa atau orangnya”. Bisa dipastikan, yang salah adalah orangnya, sebab tidak mungkin ajaran puasa yang salah. Tetapi, bagaimana kalau orang iseng tadi melanjutkan gugatannya, “jika memang tidak ada yang salah pada ajarannya, mengapa puasa hampir-hampir tidak punya daya pemikat dan daya kontrol moral bago orang Islam dalam bertindak”. Sampai di sini, marilah kita mengurai satu persatu benang-kusut permasalahannya, dengan melakukan dekonstruksi pengahayatan kita secara cermat, lapang dada, dan tidak perlu mengumbar kata-kata munafik, kafir apalagi Dajjal kepada sesama kita, hanya karena perbedaan pemahaman.

JANGAN “TERJEBAK” PADA PAHALA.

Bahasa-bahasa dakwah ramai kita dengar di masjid-masjid, mushalah, Langgar, atau apalah namanya selama bulan Ramadhan. Para dai kita hampir tak pernah bosan-bosannya menyerukan keutamaan atau fadhilah ramadhan. Diantaranya adanya pelipatgandaan pahala, dari kadar yang paling rendah hingga kadar yang tak terhingga. Pahala, sesungguhnya, adalah ganjaran atau hadiah bila kita melakukan pekerjaan yang baik lagi mulia. Dalam bahasa lain, pahala bisa disebut sebagai keuntungan.

Kalau kita menganjurkan orang agar berpuasa karena adanya limpahan pahala, maka apa bedanya kalau kita menganjurkan kepada para pedagang untuk memperbanyak keuntungan.

Mestinya kita menganjurkan “hai para pedagang jadilah pedagang yang baik”, bukannya menguntungkan semata!. Karena itu sudah waktunya kita menegaskan kembali kepentingan kita berpuasa yaitu kita ingin mendekatkan diri kepada Allah, kepada belaian Rahim-Nya, dan bukan pada pahalanya.

Penulis tidak mengatakan bahwa pahala itu tidak penting, tetapi sekali lagi, pahala itu boleh jadi akan “menodai” ketulusan kita beribadah kepada Allah. Karena ujung-ujungnya, yang kita butuhkan hanyalah limpahan pahala-Nya, dan bukan belaian rahim-Nya. Bisa salaja ini yang didambakan  oleh kaum muslimin, maka sangat boleh jadi kehidupan kita akan terasa sejuk dan damai, lantaran cinta yang dihasilkan oleh sifat dzatiyah, rahim tersebut. Itu yang pertama.

Selanjutnya, pada saat puasa, entah disadari atau tidak, sebetulnya kita tengah mempraktekkan “sifat dan kebradaan” Tuhan dalam takaran yang sangat kexil. Dalam bahasa hukum, kita tidak boleh makan, dan menggauli istri sejak fajar hingga terbenamnya matahari. Tapi, sesungguhnya dalam bahasa metafislosofis, tampaknay Tuhan memberi kita kesempatan menjadi ‘Tuhan-tuna kecil’, karena Tuhan (Allah) yang sebenarnya juga tidak makan dan tidak minum, dan juga tidak beristri dan tidak pula beranak. Tetapi, sekali lagi, pengalaman kemanusiaan kita membuktikan bahwa manusia harus makana, minum dan berhubungan dengan istri-istrinya. Oleh karena itu, kita ternyata memang tidak boleh sama sekali mencoba-coba menjadi Tuhan, termasuk “ingin dipertuhankan”. Hikmahnya, manusia tidak boleh merasa super dari manusia lainnya, tidak boleh berbuat semena-mena, tidak boleh berbuat zalim (tidak adil) kepada sesamanya. Pada level kemanusiaan kita ketidakadilan ini menjadi pemicu meunculnya berbagai konflik sosial dalam masyarakat. Sedangkan secara teologis, ketidakadilan (ke-zalim-an) sesungguhnya merusak aqidah. Inna al-Syirka lazulmun azim. “sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang laping besar”. Dalam pengertian lain, zalim adalah bagian dari syirik kepada Tuhan.

KEANEHAN FAKULTAS_FAKULTAS DALAM DIRI MANUSIA

 

Related Posts

Post a Comment