BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan merupakan konsep normatif yang mengisyaratkan pilihan-pilihan tujuan untuk mencapai apa yang disebut sebagai realisasi potensi manusia. Pembangunan tidak sama maknanya dengan modernisasi, jika kita memahami secara jelas mengenai makna sesungguhnya dari hakikat pembangunan itu sendiri. Dalam Economic Development in The Third,
Todaro, (2000) dalam Kartasamita (1996) mengatakan pembangunan adalah usaha meningkatkan harkat martabat masyarakat yang dalam kondisinya tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.A Membangun masyarakat berarti memampukan atau memandirikan mereka. Dimulainya proses pembangunan dengan berpijak pada pembangunan masyarakat, diharapkan akan dapat memacu partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan itu sendiri.
Menurut Tjokrowinoto (1997), batasan pembangunan yang nampaknya bebas dari kaitan tata nilai tersebut dalam realitasnya menimbulkan interpretasi-interpretasi yang seringkali secara diametrik bertentangan satu sama lain jehingga mudah menimbulkan kesan bahwa realitas pembangunan pada hakikatnya merupakan self project reality. Sumber perbedaan pendapat ini pun bermacam-macam, mulai dari perbedaan dalam perspektif epistemologik-ontologik pada tingkat filsafat, sampai pada perbedaan penilaian atas definisi pembangunan sebagaimana diwujudkan pembangunan itu sendiri dalam konteks empirik.
Budiman (1995) membagi teori pembangunan ke dalam tiga kategori baser yaitu teori modernisasi, dependensi dan paska dependensi.
Budiman (1995) membagi teori pembangunan ke dalam tiga kategori baser yaitu teori modernisasi, dependensi dan paska dependensi.
Teori modernisasi menekankan pada faktor manusia dan budayanya yang dinilai sebagai elemen fundamental dalam proses pembangunan. Kategori ini dipelopori orang-orang seperti: (a) Harrod-Domar dengan konsep tabungan dan investasi (saving and invest at ion), (b) Weber dengan tesis etika protestan dan semangat kapitalisme (the protestant ethic and the spirit of capitalism), (c) McClelland dengan konsep kebutuhan berprestasi (need for achievement, n-ach), (d) Rostow dengan lima tahap pertumbuhan ekonomi (the five stage of economic growth), (e) Inkeles dan Smith dengan konsep manusia modern, serta (f) Hoselitz dengan konsep faktor-faktor non-ekonominya (http://arien-kurniawan.blogspot.com).
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka penulis merumuskan judul “ Pembangunan sosial dan dimensinya”.
1.2. Identifikasi Masalah
Sebelum merumuskan permasalahan yang nantinya akan penulis uraikan dalam pembahasan ini, dalam hal ini penulis melakukan identifikasi permasalahan yang ada. Adapun identifikasi masalah tersebut adalah:
a. Dimensi pembangunan sebagai titik tolak keberhasilan pembangunan sosial
b. Pembangunan sebagai upaya menambah nilai dan guna
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran diatas, maka penulis merumuskan masalah “Apakah dengan adanya dimensi pembangunan dapat mempengaruhi pembangunan sosial suatu kawasan? ”
1.4. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang pembangunan sosial dalam kaitannya dengan dimensi pembangunannya.
1.5. Manfaat Penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak terkait, dalam rangka memberikan gambaran tentang upaya meningkatkan pembangunan sosial dalam kaitannya dengan dimensinya, agar pencapaian tujuan pembangunan tercapai dan akan meningkat.
BAB II
2.1Hakekat Pembangunan Sosial
Pada hakekatnya, pembangunan adalah pembangunan sumberdaya manusia serta pembangunan prasarana dan sarana yang dilakukan untuk menunjang kegiatan manusia dalam pembangunan. Karena pembangunan yang berlangsung selama ini bertujuan untuk mewujudkan masa depan manusia yang lebih baik daripada sebelumnya. Karena itu
pembangunan merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan selalu meningkat dari hari kehari.
Pembangunan berlangsung dalam masyarakat yang selalu berubah. Dalam hal ini, pembangunan tidak hanya menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang dalam masyarakat yang berubah itu, tetapi juga berperan untuk melakukan perubahan atau mengarahkan perubahan tersebut. Untuk itu, instrumen strategi yang dipakai harus sesuai dengan kelompok sasaran (target group) dan strategi induk yang dipilih. (Abidin, 2004).
Agar pembangunan di suatu negara bisa berfokus pada manusia, ada 3 (tiga) pilar proses pembangunan yang harus ada di dalam setiap kegiatan pembangunan, yaitu: pemberdayaan, partisipasi, dan berkelanjutan. Semua pihak, baik pemerintah maupun swasta, yang mempunyai kegiatan yang berpengaruh pada harkat hidup orang banyak perlu memperhatikan ketiga hal ini.
Secara umum, maksud dari masing-masing pilar tersebut adalah:
1. Pemberdayaan: Menciptakan suasana/aturan yang memungkinkan potensi manusia (semua orang) bekembang.
2. Partisipasi: Menciptakan suasana/aturan yang memungkinkan semua orang ikut terlibat dan memperoleh manfaat dari kegiatan pembangunan.
3. Berkelanjutan: Menciptakan suasana/aturan yang memungkinkan semua aspek kegiatan manusia (ekonomi, sosial, pertanian, industri, dll) berkelanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi (http://karuniasemesta. wordpress.com)
2.2Dimensi Pembangunan
Dimensi pembangunan adalah subject matter yang menjadui kawasan garapan dari pembangunan. Sebagai sebuah upaya menambah nilai dan guna sesuatu menjadi lebih baik, pembangunan memiliki sekian banyak bidang garapan yang salin terkait, namun tidak dapat disatukan, dalam sebuah kawasan kajian secara makro semata-mata. Ada perspektif mikro yang sangat terganung pada meminjam istilah antropologi-locus spehrenya masing-masing.
Pembangunan di Indonesia senantiasa diarahkan agar perekonomian Indonesia mengalami akselerasi pertumbuhan yang tinggi, baik pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I) maupun Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II). Pemerintah Indonesia berpedoman bahwa persoalan pertumbuhan ekonomi adalah masalah ekonomi jangka panjang, sehingga mesti diletakkan dalam setiap kerangka pembangunan jangka panjang. Jangka waktu yang relatif lama (20-25 tahun) tersebut dipergunakan untuk mengukur berapa sebenamya capaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang telah diraih. Pada PJP I misalnya, pertumbuhan ekonomi direncanakan mengalami peningkatan secara bertahap pada kisaran 6,2% per tahun. Pada PJP II, pertumbuhan ekonomi yang diharapkan meningkat 7,3%. Sasarannya adalah peningkatan pendapatan per kapita $ 2600 pada akhir PJP II (RPJ Nasional 2005-2025).
Kebijakan otonomi daerah berakar dari konsep ten-tang desentralisasi, yakni pelimpahan sebagian wewenang yang dimiliki pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Konsep desentralisasi sendiri merupakan kebalikan dari sistem sentralisasi di mana seluruh kewenangan dikuasai oleh pemerintah pusat. Kaho (19
98) menyatakan bahwa desentralisasi adalah suatu sistem dalam mana bagian dari tugas-tugas negara diserahkan penyelenggaraannya kepada organ atau institusi yang mandiri. Institusi ini berkewajiban untuk melaksanakan wewenang seusai dengan kehendak dan inisiatif programnya sendiri.
Perspektif politik desentralisasi {political decentralization perspective) seperti fokus studi dari Mawhood (1987), Goldberg (1996), Kingsley (1996), Sherwood (1994), Rondinelli (1998) dan banyak pakar lain merupakan kontribusi atas perkembangan pemerintahan modern yang bersifat devolutif. Secara prinsip dikemukakan bahwa desentralisasi adalah devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah {the devolution of power from central to local government) (Putra, 2004:13).
Perspektif politik desentralisasi {political decentralization perspective) seperti fokus studi dari Mawhood (1987), Goldberg (1996), Kingsley (1996), Sherwood (1994), Rondinelli (1998) dan banyak pakar lain merupakan kontribusi atas perkembangan pemerintahan modern yang bersifat devolutif. Secara prinsip dikemukakan bahwa desentralisasi adalah devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah {the devolution of power from central to local government) (Putra, 2004:13).
2.3Hubungan antara Pembangunan dan Dimensinya
Dalam hubungannya dengan pembangunan, dimensi-dimensi pembangunan menjadi rel dan bidang garapan dari sekian banyak upaya peningkatan kemakmuran masyarakat sebuah negara yang menerapkan pembangunan. Ada grand goal yang dicanangkan tiap pelaku pembangunan dalam melakukan aktifitasnya, namun ada juga spesifik goal dalam pembangunan yang berada dalam dimensi atau kawasan tertentu. Kesemuanya memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya, namun keterkaitan tersebut tidak secara langsung menafikan spesifikasi orientasi masing-masing dimensi.
Pelaku pembangunan sering kali menentukan stadar keberhasilan dari aktifitas yang mereka lakukan untuk mencapai goal of development. Standar tersebut akan dapat di-breakdown dari sekian banyak indikator penambahan kemajuan dari dimensi-dimensi pembangunan yang telah dicanangkan sebgai sasaran keberhasilan sebuah pembangunan akan dapat dilihat dan diukur dari indikator-indikator tersebut, sehingga pembangunan memiliki kejelasan orientasi dan target yang dapat dinilai secara riil. Adapun dimensi pembangunan dapat dikategorikan dalam wilayah ekonomi, kesehatan, pendidikan, sumberdaya manusia, hukum, politik, sarana, dan keadilan masyarakat secara umum.
Menurut Kuncoro (2004), teori pembangunan yang ada selama ini memang belum berhasil mengupas secara tuntas mengenai kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi yang ada di daerah. Karena itulah sangat penting untuk melakukan perumusan ulang paradigma baru perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang iebih komprehensif diperlukan suatu sintesis di antara berbagai pendekatan yang ada sehingga bisa dihasilkan rumusan baru tentang paradigma baru pembangunan ekonomi di daerah secara lebih tepat.
Paradigma baru pembangunan ekonomi daerah mengandaikan pembangunan yang ada di daerah mencakup hal berikut:
a. Pembangunan dilakukan dengan mempertimbangkan potensi daerah bersangkutan, serta kebutuhan dan kemampuan daerah menjalankan pembangunan.
b.
Pembangunan daerah tidak hanya terkait dengan sektor ekonomi semata melainkan keberhasilannya juga terkait dengan faktor lainnya seperti social, politik, hukum, budaya, birokrasi dan lainnya.
c. Pembangunan dilakukan secara bertahap sesuai dengan Skala prioritas dan yang memiliki pengaruh untuk menggerakkan sektor lainnya secara lebih cepat.
Dalam pemahaman Hirschman, pembangunan memerlukan prioritas, pilihan lokasi, individu maupun sektor strategis yang juga punya efek forward dan backward. Hirschman (1958) mengemukakan bahwa di daerah miskin banyak kendala yang dihadapi setiap sektor untuk melaksanakan strategi kebijakan pertumbuhan berimbang {balance growth). Hal tersebut akan mempersulit pelaksanaan dari strategi kebijakan pertumbuhan berimbang. Hirschman menyatakan strategi kebijakan yangpaling tepat adalah strategi kebijakan pertumbuhan tidak berimbang. Karma itu dalam analisis backward linkage dan forward linkage, strategi kebijakan pertumbuhan tidak berimbang mengakui adanya komplementasi antar sektor melalui hubungan permintaan output dan penawaran input. Hirschman membedakan kedua kaitan antar sektor tersebut sebagai forward linkage dan backward linkage. Forward linkage adalah kaitan antar sektor ke arah permintaan output dan backward linkage adalah kaitan antar sektor ke arah penawaran input.
Di era otonomi, pembangunan ekonomi haruslah dilakukan secara serentak pada setiap sektor, walaupun menurut Hirschman (Todaro, 1985), bahwa untuk negara (daerah) berkembang pembangunan ekonomi tidak dilakukan secara serentak {unbalanced growth) yaitu dengan menetapkan sektor unggulan, dimana sektor unggulan ini akan berimplikasi ke depan {forward linkages) dan hubungan ke belakang (backward linkages). Pemerintah haras memberikan kejelasan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi yang akan dicapai sesuai dengan kehendak masyarakat daerah, karma masyarakat itu sendirilah yang lebih mengetahui sektor ekonomi mana yang perlu ditingkatkan, dikembangkan, dipertahankan, sesuai dengan sosio-kultur daerah tersebut.
Mengenai paradigma baru pembangunan, kalau pada model awal pembangunan yang ditekankan adalah perlunya kapitalisasi, kemudian dalam model distribusi sosial muncul kesadaran akan keadaan marginalitas yang dihasilkan oleh konsep pembangunan dengan arti pertumbuhan, maka kemudian tampil sejumlah pengulas teori pembangunan – terutama yang berasal dari negara berkembang sendiri, seperti Amerika Latin – yang meninjaunya dari sudut tekanan historis mengenai hubungan antara negara maju dengan negara terbelakang. Bagi kelompok analis ini, yang menjadi masalah utama yang sebenarnya bukan terletak pada kuantitas pertumbuhan ekonomi (seperti yang diukur dengan persentase tingkat pertumbuhan per tahun), ataupun pada kualitas pertumbuhan sosial, melainkan pada kualitas dari proses pencapaian pertumbuhan itu sendiri. Pandangan ini tetap mengakui pentingnya pembangunan ekonomi dan sosial, namun menurut mereka persoalan kunci adalah: siapa yang mengendalikan pembangunan? Apakah negara-negara yang sedang membangun itu merupakan objek pembangunan – kendali tujuan berada di tangan seseorang di luar mereka – atau mereka merupakan subjek pembangunan – yakni mengendalikan sendiri tujuan mereka itu? Dalam menjawab pertanyaan inilah kemudian muncul teori-teori dependensi (ketergantungan) dan teori keterbelakangan {underdevelopment).
Menurut Servaes (1986) teori-teori dependensi dan keterbelakangan lahir ftftegai hasil “revolusi intefektuai” secara umum pada pertengahon tahun 60-an sebagai tantangan para ilmuwan Amerika Latin terhadap pandangan Barat mengenai pembangunan. Meskipun paradigma dependensi dapat dikatakan asli Amerika Latin, namun “bapak pendiri” perspektif ini adalah Baran, yang bersama Magdoff dan Sweezy merupakan juru bicara kelompok North American Monthly Review. Frank (1972) menolak anggapan yang umum bahwa pembangunan akan terjadi menggantikan tahap kapitalis, dan bahwa negara-negara yang terbelakang sekarang ini masih dalam suatu tahap, yang kadang-kadang digambarkan sebagai suatu tahap sejarah yang orisinal, melalui manginegara-negara yang sekarang sudah maju, telah melewatinya di masa silam, Secara garis besar, yang dimaksud dengan dependensi adalah, suatu keadaan di mana keputusan-keputusan utama yang mempengaruhi kemajuan ekonomi di negara berkembang seperti keputusan mengenai harga komoditi, pola investasi, hubungan moneter, dibuat oleh individu atau institusi di luar negara yang bersangkutan.
Strategi Baru Pembangunan menurut sejumlah pemikir pembangunan (kebanyakan para ekonom) telah berkumpul pada Pertemuan Houston tahun 1977 untuk menjajagi suatu “strategi baru pembangunan” (Hill, 1979). Dalam pertemuan itu, teori tinggal landas Rostow, atau tabungan dan industrialisasi dari Nurkse telah dikritik oleh Seers, Streeten, Cardoso, dan Hirschman.
Pandangan Streeten tentang strategi baru bagi masa depan pembangunan merupakan ringkasan dan pemikiran-pemikiran koleganya, yakni penegasan mengenai:
a. pendekatan kebutuhan dasar untuk mayoritas kaum miskin melalui peningkatan pelayanan sosial;
b. penekanan pada distribusi pertumbuhan sebagai indikator pembangunan;
c. pertanian sebagai sektor prioritas ekonomi dan pemberian kredit, informasi, inputs, dan infrastruktur pasar bagi kaum miskin;
d. teknologi padat karya dan tepat guna lainnya;
e. penekanan pada aspek sosial dan politik sekaligus ekonomi dari pembangunan.
la berkesimpulan bahwa pelajaran dari
25 tahun pemikiran pembangunan menunjukkan baik ide-ide besar Keynes maupun penekanan Marx pada kepentingan ekonomi kalangan elit yang berkuasa, telah tidak memadai dalam menjelaskan masalah kompleksitas dan kontradiksi pembangunan.
Pembangunan dalam Perspektif Historis agaknya konstatasi penganut aliran fenomenologi yang menegaskan bahwa proses mental seseorang atau masyarakat, membentuk realita sosiaJ, bahwa kesadaran seseorang atau masyarakat mewamai persepsi mereka terhadap realita, dapat menjadi explanatory variable mengapa konsep pembangunan begitu multi-interpretable. Pembangunan sebagaimana realita pada umumnya, menjadi self projected reality yang kemudian menjadi acuan dalam proses pembangunan. Pembangunan jugs seringkali menjadi semacam ideology of developmentalism. Kesadaran sesuatu bangsa yang terbentuk melalui pengalamannya, baik pengalaman sukses maupun kegagalan-kegagalan yang dialami, amat menentukan interpretasi mereka tentang pembangunan. Namun, karena pengalaman sesuatu bangsa yang mempengaruhi kesadaran tersebut tidaklah stasis, maka interpretasi mereka tentang pembangunan tidak pula stasis. Melalui mata-rantai pemithosan dan demistifikasi paradigma pembangunan, terjadilah pergeseran-pergeseran paradigma tadi. Paradigma pembangunan yang pada suatu waktu tertentu menjadi acuan pembangunan nasional, dapat saja mengalami proses demistifikasi, sementara paradigma-paradigma baru timbul menggantikannya.
Keberhasilan paradigma pertumbuhan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, telah membawa berbagai akibat yang negatif. Momentum pembangunan dicapai dengan pengorbanan {at the expense of) deteriorasi ekologis, penyusutan sumber alam, timbulnya kesenjangan sosial, dan dependensi. Kritik-kritik tajam ditujukan pada paradigma ini. Sejumlah pemikir di Massachusetts Institute of Technology dan Club of Rome, misalnya, memperingatkan bahwa kalau laju pembangunan dunia dan pertumbuhan penduduk dunia tetap seperti ini, pada suatu ketika akan tercapai batas ambang (threshold) pertumbuhan, dan akan terjadi kehancuran planet bumi ini sebagai suatu sistem. Mereka berpendapat bahwa di dalam satu abad, batas ambang pertumbuhan akan tercapai.
Pembangunan yang berwawasan lingkungan dapat dilihat rai
keberhasilan paradigma pertumbuhan mencapai pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat seringkali harus dicapai melalui pengorbanan (at the expense of) yang berupa deteriorasi ekologis, baik yang berwujud kerusakan tanah (soil depletion), penyusutan sumber alam yang tidak dapat diperbaharui lagi (non-renewable resources), desertifikasi, dan sebagainya. Upaya-upaya mewujudkan masyarakat yang berkelimpahan (affluent society), bukannya tanpa pengorbanan yang membahayakan planet bumi ini. Hal ini telah menimbulkan kritik-kritik tajam terhadap paradigma pertumbuhan.
Kebijaksanaan dasar pembangunan yakni kegiatan pertama yang utama dalam pekerjaan perencanaan adalah perumusan daripada kebijaksanaan dasar pembangunan. Kebijaksanaan dasar pembangunan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang perkembangan yang hendak ditempuh atau dalam istilah Prof. Tinbergen “projection of a pattern of development”.
Seringkali hal ini juga disebutkan sebagai perumusan atau penentuan strategi pembangunan, yaitu penetapan tujuan dan cara yang terbaik mencapai tujuan itu berdasar sumber daya dan dana yang ada serta mampu dikerahkan. Sudah barang tentu dalam penentuannya tergantung pula daripada nilai politik, sosial dan ekonomi yang dianut oleh suatu masyarakat bangsa tertentu.
BAB III
P E N U T U P
3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pembangunan berlangsung dalam masyarakat yang selalu berubah. Dalam hal ini, pembangunan tidak hanya menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang dalam masyarakat yang berubah itu, tetapi juga berperan untuk melakukan perubahan atau mengarahkan perubahan tersebut.
Dimensi pembangunan adalah subject matter yang menjadi kawasan garapan dari pembangunan. Sebagai sebuah upaya menambah nilai dan guna sesuatu menjadi lebih baik, pembangunan memiliki sekian banyak bidang garapan yang salin terkait, namun tidak dapat disatukan, dalam sebuah kawasan kajian secara makro semata-mata.
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, dapat disarankan kepada pihak-pihak yang terkait, terutama penanggung jawab pembangunan dalam hal ini pemerintah, baik pusat maupun daerah, kiranya dapat memberikan dukungan dan peluang kepada masyarakat untuk lebih mengembangkan perannya dalam pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Said Zainal, 2004. Hakekat Pembangunan. dan Perubahan Masyarakat. Jakarta; Yayasan Pancur Siwah,
http://arien-kurniawan.blogspot.com/2011/03/teori-strategi-pembangunan-dan-rencana.html
http://karuniasemesta.wordpress.com/2011/03/26/hakekat-pemba ngunan/
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................ i
DAFTAR ISI................................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG........................................................................................ 1
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH.......................................................................... 2
1.3 RUMUSAN MASALAH................................................................................... 3
1.4 TUJUAN PENULISAN..................................................................................... 3
1.5 MANFAAT PENULISAN............................................................................... 3
BAB II LANDASAN TEORI DAN PEMBAHASAN................................................... 4
2.1 HAKEKAT PEMBANGUNAN SOSIAL................................................... 4
2.2 DIMENSI PEMBANGUNAN........................................................................ 5
2.3 HUBUNGAN ANTARA PEMBANGUNAN DAN DIMENSINYA 7
BAB III PENUTUP ................................................................................................................... 15
3.1 SIMPULAN........................................................................................................... 15
3.2 SARAN.................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
Post a Comment
Post a Comment