-->

Ad Unit (Iklan) BIG

ALIRAN PROGRESSIVISM

Post a Comment

 

1.      ALIRAN PROGRESSIVISME

 

Aliran progressivisme adalah suatu aliran filsafat pendidikan yang sangat berpengaruh dalam abad ke 20 ini. Pengaruh itu terasa di seluruh dunia, terlebih-lebih di Amerika Serikat. Usaha pembaharuan di dalam lapangan pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran progressivisme ini.

Biasanya aliran progressivisme ini dihubungkan dengan pandangan hidup liberal – “The liberal road to culture”.15  Yang dimaksudkan dengan ini ialah pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terkait oleh suatu doktrin tertentu), curious (ingin mengetahui, ingin menyelidiki), toleran dan open-minded (mempunyai hati terbuka).

 

Sifat-sifat aliran progressivisme

 

            Sifat-sifat umum aliran progressivisme dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok: (a) sifat-sifat negatif, dan (b) sifat-sifat positif.

            Sifat itu dikatakan negatif dalam arti bahwa, progressivisme menolak otoritarisme dan absolutisme dalam segala bentuk, seperti misalnya terdapat dalam agama, politik, etika dan epistemologi. Positif  dalam arti, bahwa progressivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah dari manusia, kekuatan-kekuatan manusia untuk terus-menerus melawan dan mengatasi kekuatan-kekuatan, takhayul-takhayul dan kegawatan-kegawatan yang timbul dari lingkungan hidup yang selamanya mengancam.

            Istilah filsafat yang biasanya dipakai untuk menggambarkan pandangan hidup yang demikian disebut pragmatisme. Dalam lapangan pendidikan lebih lazim dipakai istilah-istilah “instrumentalisme” dan “experimentalisme”. Dalam arti terbatas pragmatisme adalah suatu teori pikir. Menurut John Dewey pragmatisme ialah : “the rule of referring all thinking..............................to consequences for final meaning and test”,16) Untuk mengetahui apakah pikir itu benar, perlu dilihat hasil pikiran itu. Jika pikiran itu berhasil, mmepunyai arti bagi si pemikir, maka pikiran itu benar. Ini berarti pragmatisme, dipakai dalam arti yang lebih luas, menurut Dewey. Akan tetapi lazim juga istilah pragmatisme yaitu meliputi sekelompok keyakinan-keyakinan filsafat mengenai alam dan manusia.

            Progressivisme yakin bahwa manusia mempunyai kesanggupan-kesanggupan untuk mengendalikan hubungannya dengan alam. Akan tetapi di samping keyakinan-keyakinan ini ada juga kesangsian. Dapatkah manusia menggunakan kecakapnnya dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam, juga dalam ilmu pengetahuan sosial? Dalam masyarakat manusia? Pragmatisme (dan progressivisme) yakin bahwa manusia mempunyai kesanggupan itu, akan tetapi apakah manusia dapat belajar bagaimana mempergunakan kesanggupan itu dalam hal ini, di sini timbul sedikit kesangsian. Tetapi, meskipun demikian progressivisme tetap bersikap optimis, tetap percaya bahwa manusia dapat menguasai selutuh lingkungannya, lingkungan alam dan lingkungan sosial.

            Maka tugas pendidikan menurut pragmetisme, ialah meneliti sejelas-jelasnya kesanggupan-kesanggupan manusia itu dan menguji maksud di sini ialah, bahwa manusia hendaknya memperkerjakan ide-ide atau pikiran-pikirannya. Manusia tidak hendaknya berpikir untuk berbuat. Pragmatisme menolak “pure intekkectualisme”. Bagi pragmatisme, jiwa dan pikiran manusia dipakai menghadapi tugas hidup yang maha besar. Pragmatisme menolak pendapat, bahwa maunusi itu tidak berdaya; bahwa manusia hanya dapat menyerah saja kepada kekuatan-kekuatan dalam lingkungannya. Pragmatisme berpendapat, bahwa pendidikan adalah alat kebudayaan yang paling baik. Bahwa dengan pendidikan sebagai alat, manusia dapat menjadi “the master, not the slaves. of social as well as other kinds of natural change”.17)

 

Perkembangan aliran progressivisme

 

            Meskipun pragmatisme-progressivisme sebagai aliran pikiran baru muncul dengan jelas pada pertengahan abad ke 19, akan tetapi garis perkembangannya dapat ditarik jauh ke belakang sampai pada zaman Yunani purba. Misalnya Heraclitus (+ 544-484), Socrates (469-399), Protagoras (480 – 410), dan Aristoteles mengemukakan pendapat yang dapat dianggap sebagai unsur-unsur yang ikut menyebabkan terjadinya sikap jiwa yang disebut pragmatisme-progressivisme. Heraclitus mengemukakan, bahwa sifat yang terutama dari realita ialah perubahan. Tidak ada sesuatu yang tetap di dunia ini, semuanya berubah-ubah, kecuali asas perubahan itu sendiri. Socrates berusaha mempersatukan epistemologi dengan axiologi. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kunci untuk kebajikan. Yang baik dapat dipelajari dengan kekuatan intelek, dan pengetahuan yang baik menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan kebajikan (perbuatan yang baik). Ia percaya bahwa manusia sanggup melakukan yang baik. Protagoras seorang sophis, mengajarkan bahwa kebenaran dan norma atau nilai (value) tidak bersifat mutlak, melainkan relatif, yaitu bergantung kepada waktu dan tempat. Aristoteles menyarankan moderasi dan kompromi (jalan tengah bukan jalan ekstrim) dalam kehidupan.

            Dalam asas modern – sejak abad ke-16 – Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant dan Hegel dapat disebut sebagai penyumbang-penyumbang pikiran dalam proses terjadinya aliran pragmatisme-progressivisme. Francis Bacon memberikan sumbangan dengan usahanya untuk memperbaiki dan memperhalus metode experimentil (metode ilmiah dalam pengetahuan alam). Locke dengan ajarannya kebebasan politik. Rousseau manusia lahir sebagai makhluk yang baik. Kant memuliakan manusia, menjunjung tinggi akan kepribadian manusia, memberi martabat manusia suatu kedudukan yang tinggi. Hegel mengajarkan, bahwa alam dan masyarakat bersifat dinamis, selamanya berada dalam keadaan gerak, dalam proses perubahan dan penyesuaian yang tak ada hentinya.

            Dalam abad ke 19 dan ke 20 ini tokoh-tokoh pragmatisme terdapat di Amerika Serikat. Thomas Paine dan Thomas Jefferson  memberikan sumbangan pada pragmatisme karena kepercayaan mereka akan demokrasi dan penolakan terhadap sikap yang dogmatis, terutama dalam agama. Charles S. Peirce mengemukakan tentang teori tentang pikiran dan hal berpikir  :  pikiran itu hanya berguna atau berarti bagi manusia apabila pikiran itu “bekerja” yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya. Funsi berpikir tidak lain dari masa membiasakan manusia untuk berbuat. Perasan dan gerak manusia (perbuatan) adalah manifestasi-manifestasi yang khas dari aktivitas manusia dan kedua hal itu tak dapat dipisahkan dari kegiataan intelek (berpikir). Jika dipisahkan, perasaan dan perbuatan menjadi abstrak dan dapat menyesatkan manusia. Tokoh pragmatisme yang lebih terkenal ialah Willam James dan John Dewey.

 

Keyakinan-keyakinan progressivisme tentang pendidikan

 

            Istilah progressivisme dalam bagian ini akan dipakai dalam hubungannya dengan pendidikan, dan menunjukkan sekelompok keyakinan-keyakinan yang tersusun secara harmonis dan sistematis dalam hal mendidik. Keyakinan-keyakinan mana didasarkan pada sekelompok keyakinan-keyakinan filsafat yang lazim disebut orang pragmatisme, instrumentalisme dan eksperimentalisme.

            Perlu diketahui bahwa pragmatisme sebagai filsafat dan progressivisme sebagai pendidikan erat sekali hubungannya dengan kepercayaan yang sangat luas dari John Dewey dalam lapangan pendidikan. Hal ini dengan jelas dapat ditelusuri lewat bukunya, Democracy And Education. Dalam bukunya inilah Dewey memperlihatkan keyakinan-keyakinan dan wawasan-wawasannya tentang pendidikan, serta mempraktekkannya di sekolah-sekolah yang ia dirikan. Menurut Dewey tujuan umum pendidikan ialah warga masyarakat yang demokratis. Isi pendidikannya lebih mengutamakan bidang-bidang studi, seperti, IPA, sejarah, keterampilan, serta hal-hal yang berguna atau langsung dirasakan oleh masyarakat. Metode scientific lebih dipentingkan, dan bukan metode memorisasi seperti pada aliran esensialisme. Praktek kerja di laboratorium, di bengkel, di kebun (lapangan) merupakan kegiatan yang dianjurkan dalam rangka terlaksananya “learning by doing”. Progressivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan secara terpisah, melainkan harus diusahakan terintgrasi dalam unit. Karena perubahan yang selalu terjadi maka diperlukan fleksibilitas dalam pelaksanaannya, dalam arti tidak kaku, tidak menghindar dari perubahan, tidak terikat oleh doktrin tertentu, bersifat ingin tahu, toleran, dan berpandangan luas serta terbuka.

Related Posts

Post a Comment